TOPMEDIA – Tragedi di Lumajang, Jawa Timur, saat seorang ibu meninggal dunia ketika menyaksikan karnaval dengan iringan sound horeg kembali membuka mata publik akan bahaya dentuman musik bervolume tinggi.
Fenomena ini menimbulkan kekhawatiran serius, terutama bagi kelompok rentan seperti lansia dan penderita penyakit jantung.
Dokter Spesialis Jantung dan Pembuluh Darah, Dr. Meity Ardiana, Sp.JP(K), FIHA, mengungkapkan bahwa paparan suara ekstrem dapat memicu gangguan fisiologis yang berbahaya bagi jantung.
“Pada orang sehat, dampaknya mungkin kecil. Tapi bagi mereka yang memiliki faktor risiko seperti gangguan irama jantung, suara keras bisa mencetuskan aritmia hingga henti jantung,” jelas Dr. Meity, Selasa (19/8).
Menurut Dr. Meity, kebisingan sering diabaikan sebagai faktor risiko penyakit jantung. Padahal, paparan suara di atas 85 dB secara terus-menerus dapat menimbulkan stres fisiologis, memengaruhi pembuluh darah, hingga meningkatkan risiko penyakit jantung koroner.
Ia menegaskan bahwa pencegahan adalah kunci.
“Kalau di tempat kerja saja ada aturan batas kebisingan demi kesehatan, apalagi sound horeg yang dipakai hiburan. Itu jelas merugikan dan tidak menyehatkan,” tegas dosen Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga (Unair) ini.
Dr. Meity mendorong adanya regulasi khusus untuk melindungi kelompok rentan dari paparan suara ekstrem di ruang publik.
Prinsip manajemen risiko yang biasa diterapkan di lingkungan kerja, menurutnya, juga seharusnya berlaku dalam kegiatan hiburan.
“Kalau di tempat kerja ada kewajiban pelindung telinga, maka di konser atau karnaval pun seharusnya ada pembatasan agar aman bagi kesehatan,” tambahnya.
Ia juga mengingatkan bahwa gangguan jantung akibat suara keras bisa muncul tiba-tiba tanpa gejala awal. “Jika tahu volumenya berlebihan, sebaiknya segera menjauh dari sumber suara,” imbaunya.
Gangguan jantung akibat kebisingan ekstrem bisa menyerang siapa saja, baik muda maupun lanjut usia. Dengan kesadaran bersama, penerapan regulasi yang tepat, serta langkah pencegahan, risiko tersebut dapat ditekan.
“Apapun bentuknya, suara yang melebihi ambang batas aman akan berdampak buruk bagi jantung,” pungkas Dr. Meity. (*)