TOPMEDIA – Sebanyak 112 dapur Program Makan Bergizi Gratis (MBG) resmi ditutup oleh Badan Gizi Nasional (BGN) karena terbukti melanggar standar operasional prosedur (SOP) yang berpotensi membahayakan keamanan pangan anak-anak.
Penutupan ini dilakukan sebagai respons atas insiden keracunan yang terjadi di sejumlah wilayah, sekaligus menjadi langkah awal perbaikan sistem tata kelola MBG secara nasional.
Sertifikasi Wajib dan Evaluasi Dapur MBG
Wakil Kepala BGN, Nanik S. Deyang, menyampaikan bahwa dari 112 dapur yang ditutup, hanya 13 di antaranya menyatakan siap beroperasi kembali.
Namun, pembukaan kembali hanya akan dilakukan jika dapur tersebut telah memenuhi tiga sertifikasi wajib: Sertifikat Laik Higiene Sanitasi (SLHS), Hazard Analysis and Critical Control Points (HACCP), dan sertifikasi halal.
“Kalau yang ditutup ini kemarin bermasalah, kemudian dikasih izin lagi untuk buka, tentu dengan syarat, dia sudah punya sertifikasi yang telah ditetapkan,” ujar Nanik.
Selain itu, dapur MBG juga diwajibkan memiliki sertifikasi air bersih dan mengikuti petunjuk teknis terbaru, termasuk penggunaan ruang pemorsian berpendingin untuk mencegah makanan cepat basi.
Nanik menambahkan bahwa sebelumnya hanya 35 dapur yang memiliki SLHS karena berasal dari rumah makan atau restoran yang sudah beroperasi secara komersial.
Kini, dari total 12.510 SPPG, seluruhnya diwajibkan memenuhi standar baru menyusul kejadian keracunan.
Menteri Koordinator Bidang Pangan, Zulkifli Hasan, menegaskan bahwa insiden keracunan MBG bukan sekadar soal angka, melainkan soal keselamatan anak-anak. Ia menyebut perlunya perbaikan tata kelola dari pusat hingga desa, dengan koordinasi lintas kementerian dan lembaga. “Tidak boleh ada satu pun anak kita yang mendapatkan masalah,” tegas Zulhas.
Pemerintah menargetkan 82,9 juta penerima manfaat MBG dengan nol risiko pada 26 Maret 2026. Untuk mencapainya, pengawasan, sertifikasi, dan edukasi pelaksana MBG akan terus diperkuat agar program ini benar-benar memberikan manfaat maksimal bagi generasi muda Indonesia.
Langkah korektif ini diharapkan mampu membangun sistem pangan yang lebih aman, terstandar, dan berkelanjutan demi masa depan anak-anak Indonesia. (*)