TOPMEDIA – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) berencana menaikkan batas minimum free float saham menjadi 10% dari sebelumnya 7,5 persen.
Kebijakan ini dinilai memiliki dampak ganda terhadap pasar modal Indonesia, mulai dari potensi peningkatan likuiditas hingga risiko tekanan jual dari investor.
Berdasarkan data OJK, saat ini terdapat 907 perusahaan tercatat yang memenuhi ketentuan free float sebesar 7,5 persen, sementara 47 emiten masih berada di bawah ambang batas.
Jika aturan baru diterapkan, jumlah perusahaan yang memenuhi syarat akan berkurang menjadi 764 emiten. Artinya, pasar harus menyerap tambahan nilai free float sebesar Rp 36,64 triliun.
Potensi Risiko dan Harapan Likuiditas
Pengamat Pasar Modal Indonesia, Reydi Octa, menilai bahwa kebijakan ini perlu diterapkan secara hati-hati. Menurutnya, tanpa strategi yang jelas untuk menarik minat investor, peningkatan free float bisa memicu aksi jual besar-besaran yang berdampak pada penurunan harga saham.
“Penerapannya perlu hati-hati. Pada saat eksekusi, saham-saham yang didominasi pengendali bisa mengalami tekanan jual signifikan apabila tidak ada minat beli dari investor,” ujar Reydi dikutip dari detikcom, Kamis (25/9/2025).
Meski demikian, Reydi mengakui bahwa niat OJK untuk meningkatkan free float bertujuan baik, yakni mendorong likuiditas dan transparansi pasar.
Dari perspektif investor institusi dan asing, kepemilikan publik yang lebih besar dapat mengurangi potensi manipulasi harga dan meningkatkan kepercayaan pasar.
“Dengan free float lebih tinggi, saham berpeluang dilirik investor asing karena lebih likuid dan transparan,” jelasnya.
Namun, ia menekankan bahwa kualitas fundamental perusahaan tetap menjadi pertimbangan utama bagi investor. Aturan free float hanyalah salah satu faktor pendukung.
Perspektif Global dan Tantangan Emiten
Senior Market Analyst Mirae Asset Sekuritas, Nafan Aji Gusta, menyebut bahwa kebijakan ini sejalan dengan praktik di negara maju, di mana free float umumnya lebih besar.
Menurutnya, saham dengan free float tinggi cenderung memiliki kapitalisasi pasar yang lebih besar dan menarik minat investor global.
“Di negara maju, free float umumnya besar, sehingga saham lebih likuid dan kapitalisasi pasarnya tinggi,” kata Nafan.
Ia berharap emiten di Indonesia siap mematuhi aturan tersebut, namun menekankan pentingnya penerapan prinsip good corporate governance (GCG) untuk menjaga kepercayaan investor.
Sebelumnya, Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal, Keuangan Derivatif, dan Bursa Karbon OJK, Inarno Djajadi, menjelaskan bahwa rencana kenaikan batas free float masih dalam tahap diskusi. Ia menyebut bahwa tambahan nilai free float yang harus diserap pasar mencapai Rp 36,64 triliun.
“Ini yang perlu kita diskusikan bersama. Kalau dinaikkan menjadi 10 persen, free float yang harus diserap pasar mencapai Rp 36,64 triliun,” ujar Inarno dalam rapat kerja bersama Komisi XI DPR RI.
Rencana OJK untuk menaikkan batas free float saham menjadi 10 persen membawa harapan peningkatan likuiditas dan transparansi pasar modal Indonesia.
Namun, kebijakan ini juga menuntut kesiapan emiten dan strategi mitigasi risiko agar tidak menimbulkan tekanan jual yang merugikan investor.
Dengan pendekatan yang hati-hati dan dukungan prinsip tata kelola perusahaan yang baik, kebijakan ini berpotensi memperkuat daya saing pasar modal Indonesia di tingkat global. (*)