TOP MEDIA – Dalam sejarah panjang pendidikan tinggi Indonesia, tidak banyak yang mengingat bahwa sekolah MBA pertama di Indonesia tidak lahir dari kementerian atau universitas, melainkan dari idealisme, kegelisahan moral, dan semangat sosial segelintir tokoh.
Dan di antara mereka, berdiri tegak satu nama yakni Kwik Kian Gie, ekonom, pemikir independen, dan pelopor yang membangun bukan hanya institusi, tetapi juga arah baru dalam pendidikan bisnis bangsa.
Segalanya bermula di awal 1980-an. Presiden Soeharto saat itu memberlakukan kebijakan penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) yang wajib diikuti oleh seluruh warga negara.
Namun ada satu kelompok yang membuat pemerintah berpikir ulang: para konglomerat.
Mereka adalah pengusaha besar, yang sebagian besar non-pribumi, dengan tanggung jawab bisnis yang sangat besar.
Menjalani penataran selama berminggu-minggu tentu tidak realistis. Maka, melalui kesepakatan antara Pak Harto dan Liem Sioe Liong (Om Liem), disusunlah skema khusus bahwa para pengusaha ini akan ditatar hanya selama satu minggu, tapi secara penuh dan intensif. Penataran itu berlangsung di Hotel Indonesia.
Kwik menjadi sekretaris panitia nasionalnya. Di sanalah ia menyaksikan langsung bagaimana para menteri satu per satu berbicara. Mereka ingin pengusaha peka terhadap tanggung jawab sosial.
Diskusi yang muncul di antara para peserta penataran justru jauh lebih jujur dan membumi.
Banyak pengusaha sebenarnya telah lama menyumbang dalam jumlah besar, namun tanpa publikasi. Tapi kini muncul kesadaran bahwa kontribusi harus dilembagakan secara terbuka dan terstruktur.
Om Liem lalu menyampaikan ide ini kepada Presiden Soeharto, yang merespons dengan antusias. Bahkan, beliau langsung memberi nama: Yayasan Prasetiya Mulya— dengan ejaan “i” yang unik, menjadikannya eksklusif dan istimewa.
Dalam waktu sangat singkat, para pengusaha mengumpulkan dana hampir USD 5 juta. Kwik Kian Gie dipercaya menjadi Sekretaris Badan Pengurus Harian yayasan.
Di sinilah awal perjalanannya sebagai arsitek intelektual berdirinya sekolah manajemen pertama di Indonesia.
Awalnya, dana yayasan digunakan untuk mendanai kursus kejuruan, seperti pelatihan montir sepeda motor, agar para lulusan bisa langsung bekerja.
Tapi program-program ini tidak membutuhkan biaya besar, dan sisa dana masih banyak.
Maka Kwik mengusulkan sesuatu yang lebih besar: sekolah bisnis bertaraf internasional.
Dengan cepat, ia menyusun kerangka kurikulum dan menggandeng Prof. PGM Hesseling dari Erasmus University.
Dalam waktu singkat, enam profesor dari universitas ternama Eropa datang ke Jakarta untuk mendesain struktur pendidikan manajemen modular, terdiri dari keuangan, pemasaran, SDM, operasi, strategi, dan perubahan.
Bahkan metode case study dari Harvard diperkenalkan lewat kolaborasi dengan Prof. John I. Reynolds dari Texas A&M.
Namun tantangan terbesar datang dari dalam negeri sendiri. Saat permohonan izin diajukan ke Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, yang keluar hanyalah izin “kursus.”
Pemerintah belum mengenal apa itu MBA. Banyak pihak kecewa, termasuk para pengurus yayasan. Tapi Kwik tetap tenang. Saat ditanya pendapatnya, ia hanya menjawab:
“Nggak apa-apa. Nanti industri yang membuktikan apakah lulusannya kompeten atau tidak.”
Kalimat itu menjadi kompas moral seluruh penyelenggara pendidikan. Dan waktu membuktikan, dunia industri menyambut lulusan-lulusan MBA pertama dari Prasetiya Mulya dengan sangat positif. Mereka tidak peduli pada status hukum gelar, mereka melihat kualitas nyata.
Bagi Kwik, idealisme bukan hanya tentang gagasan, tetapi juga tentang pengorbanan.
Ia menyerahkan segala daya, waktu, dan pemikirannya demi mendirikan institusi pendidikan yang ia yakini akan mengubah arah bangsa.
Pernyataan itu kejujuran. Sebab dalam idealismenya, Kwik justru menemukan keterasingan.
Ia tidak meraih apa pun secara pribadi dari keterlibatannya, baik secara posisi, kekayaan, bahkan pengakuan. Tapi seperti yang ia sampaikan dalam diam: obsesinya adalah mewujudkan sesuatu yang bermanfaat.
Sekolah MBA pertama Indonesia berdiri karena keyakinan seperti itu. Bukan karena proyek pemerintah. Bukan karena akreditasi internasional.
Tapi karena satu orang — dan sejumlah kecil orang lainnya — percaya bahwa Indonesia layak memiliki sekolah manajemen setara Harvard dan INSEAD.
Karena seseorang seperti Kwik Kian Gie melihat masa depan Indonesia terletak pada kepemimpinan bisnis yang berpikir jernih, bertindak jujur, dan menjunjung etika.
Kini, ketika pendidikan bisnis telah menjadi industri besar di Indonesia, kita tak boleh lupa pada jejak pertama yang memecah jalan.
Kwik adalah pelopor — tapi juga korban dari idealismenya sendiri. Ia membangun sesuatu yang besar, tapi memilih untuk tidak berdiri di atasnya.
Sejarah mengenangnya bukan sebagai pengelola kampus, tapi sebagai suara nurani — yang berkata: “Bangunlah sesuatu bukan untuk nama, tapi untuk manfaat.”
Dan itulah warisan sejatinya: keberanian mendirikan masa depan, bahkan jika tak semua orang mengerti hari ini. (Edhy Aruman, penulis senior)