TOPMEDIA – Kasus hukum yang melibatkan selebritas Ashanty dan mantan karyawannya, Ayu Chairun Nurisa, tengah menjadi sorotan publik.
Perselisihan ini bermula dari laporan Ashanty terhadap Ayu atas dugaan penggelapan dana perusahaan PT Hijau Hermansyah Indonesia senilai Rp 2 miliar, yang disebut berlangsung sejak 2023.
Tak tinggal diam, Ayu kemudian melaporkan balik Ashanty atas tuduhan perampasan aset pribadi dan akses ilegal terhadap perangkat elektronik miliknya.
Kronologi
Perwakilan manajemen Ashanty, Aris, mengungkap bahwa kecurigaan muncul pada 20 Mei 2025 setelah ditemukan saldo rekening perusahaan yang berkurang secara tidak wajar.
“Pada tanggal 21 Mei, setelah kami melakukan rapat pukul 9 malam, kami mempertanyakan hal itu. Akhirnya sekitar pukul 11 malam dia mengakui telah melakukan tindakan penggelapan terhadap perusahaan,” ujar Aris dalam konferensi pers.
Namun, Ayu Chairun Nurisa membantah tuduhan tersebut dan melaporkan Ashanty ke Polres Tangerang Selatan dan Polres Metro Jakarta Selatan.
Ia menuding Ashanty telah melakukan perampasan terhadap barang-barang pribadinya, termasuk ponsel, laptop, dompet, dan dokumen pribadi lainnya.
Aspek Hukum dan Lemahnya Sistem Pengawasan
Kasus ini tidak hanya menyangkut persoalan finansial, tetapi juga mencerminkan lemahnya sistem pengawasan internal dalam bisnis yang dibangun atas dasar kepercayaan. Konflik semacam ini sering kali dipicu oleh:
– Akses keuangan yang terlalu bebas tanpa kontrol audit
– Prosedur pelaporan yang tidak konsisten
– Hubungan kerja yang bertumpu pada kepercayaan pribadi tanpa perjanjian tertulis
Jika tidak ditangani dengan sistem yang kuat, persoalan administratif dapat berkembang menjadi perkara pidana. Berikut beberapa pasal yang relevan:
– Pasal 372 KUHP: Penggelapan umum, pidana penjara maksimal 4 tahun
– Pasal 374 KUHP: Penggelapan dalam hubungan kerja, pidana maksimal 5 tahun
– Pasal 365 KUHP: Pencurian dengan kekerasan, pidana maksimal 12 tahun
– Pasal 368 KUHP: Pemerasan dan pengancaman, pidana maksimal 9 tahun
– Pasal 30 jo. Pasal 46 UU ITE: Akses ilegal ke sistem elektronik, pidana maksimal 7 tahun dan/atau denda Rp 700 juta
– Pasal 31 jo. Pasal 47 UU ITE: Penyadapan sistem elektronik, pidana maksimal 10 tahun dan/atau denda Rp 800 juta
Kasus Ashanty dan mantan karyawannya menjadi pengingat penting bahwa kepercayaan dalam bisnis harus dibarengi dengan sistem pengawasan yang ketat.
Perjanjian kerja, pencatatan keuangan, dan kontrol akses harus dijalankan secara profesional agar setiap pihak terlindungi secara hukum.
Di tengah viralnya kasus ini, publik diimbau untuk tidak hanya melihat sisi sensasional, tetapi juga memahami pentingnya tata kelola bisnis yang transparan dan akuntabel.
Sebab, tanpa sistem yang kuat, konflik personal bisa berujung pada proses hukum yang panjang dan merugikan semua pihak. (*)