TOPMEDIA – Hilirisasi komoditas nilam dinilai sangat penting sebagai strategi peningkatan nilai tambah produk dan perluasan lapangan kerja.
Hal tersebut diungkapkan oleh Deputi Bidang Usaha Kecil Kementerian Koperasi dan UKM (Kemenkop UKM), Temmy Satya Permana. Menurut Temmy, hilirisasi bukan sekadar proses industri, melainkan langkah strategis untuk memperkuat daya saing UMKM di pasar global.
“Hilirisasi bukan sekadar proses industri, melainkan strategi untuk meningkatkan nilai tambah produk sehingga mampu menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan daya saing,” ujar Temmy dalam keterangan pers di Jakarta, Jumat (19/9/2025).
Indonesia Dominasi Ekspor Minyak Atsiri Dunia
Berdasarkan data Kementerian Perindustrian tahun 2025, Indonesia merupakan salah satu produsen utama minyak atsiri dunia, dengan nilam sebagai komoditas unggulan.
Minyak nilam menyumbang sekitar 54% dari total ekspor minyak atsiri Indonesia, dengan nilai mencapai USD 141,32 juta atau sekitar Rp 2,32 triliun.
Sektor ini menyerap lebih dari 200 ribu tenaga kerja, mayoritas berasal dari pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) serta petani kecil.
Data Kementerian Pertanian tahun 2024, menunjukkan tren ekspor nilam terus meningkat sejak 2019, dengan proyeksi pertumbuhan rata-rata 0,88% per tahun hingga 2027.
Sentra Produksi dan Tantangan Hilirisasi
Wilayah Aceh, Sumatera Barat, Sumatera Utara, dan hampir seluruh Sulawesi menjadi sentra utama produksi nilam di Indonesia. Namun, Temmy menyayangkan bahwa sebagian besar produk nilam masih dipasarkan dalam bentuk bahan mentah dengan nilai tambah rendah.
“Karena itu, hilirisasi menjadi langkah strategis untuk meningkatkan daya saing, membuka lapangan kerja berkualitas, serta meningkatkan kesejahteraan petani dan pengusaha UMKM,” tegasnya.
Temmy menekankan bahwa hilirisasi harus ditopang oleh riset, inovasi, dan pembiayaan yang tepat. Proses ini perlu dirancang sesuai kebutuhan pasar domestik maupun internasional.
Dukungan Program dan Pembiayaan UMKM
Kementerian Koperasi dan UKM saat ini tengah mengembangkan program Help Me Grow dan platform asistensi digital untuk mendukung hilirisasi usaha skala kecil. Platform ini akan memfasilitasi pelatihan teknis dan manajerial produksi bagi pelaku UMKM.
Namun, tantangan terbesar masih terletak pada akses pembiayaan. Data per Mei 2025 mencatat penyaluran kredit perbankan kepada UMKM baru mencapai Rp 1.503 triliun atau sekitar 18,5% dari total kredit nasional. Angka ini masih jauh dari target pemerintah yang menargetkan rasio kredit UMKM mencapai 30%.
“Lewat penempatan dana Rp 200 triliun di bank-bank Himbara, pemerintah membuka ruang lebih luas bagi UMKM mengakses pembiayaan. Sektor minyak atsiri sendiri tercatat membutuhkan pembiayaan sebesar Rp 22,5 miliar untuk peningkatan kapasitas produksi dan hilirisasi,” jelas Temmy.
Hilirisasi komoditas nilam menjadi kunci strategis dalam mendorong UMKM naik kelas dan memperkuat posisi Indonesia sebagai eksportir utama minyak atsiri dunia.
Dengan dukungan riset, inovasi, dan pembiayaan yang inklusif, sektor ini berpotensi menciptakan lapangan kerja berkualitas dan meningkatkan kesejahteraan petani serta pelaku usaha kecil.
Pemerintah melalui Kemenkop UKM terus memperkuat ekosistem hilirisasi agar produk nilam Indonesia tidak hanya dikenal sebagai bahan mentah, tetapi juga sebagai produk bernilai tinggi di pasar global. (*)