TOPMEDIA – Proses identifikasi jenazah santri korban robohnya musala Pondok Pesantren Al Khoziny, Buduran, Sidoarjo, masih menghadapi jalan terjal.
Tim Disaster Victim Identification (DVI) Polda Jatim mengaku kesulitan lantaran kondisi korban yang memprihatinkan serta minimnya ciri fisik yang bisa dijadikan pembeda.
Kabid DVI Kapusdokkes Mabes Polri Kombes Pol Wahyu Hidajati menyebut mayoritas korban berusia 12–15 tahun. Usia tersebut membuat proses identifikasi kian sulit.
“Pertumbuhan gigi anak seusia itu cenderung seragam. Sementara sidik jari juga tidak bisa terbaca karena sudah rusak akibat pembusukan,” jelas Wahyu, Sabtu (4/10).
Metode identifikasi lewat Mobile Automated Multi-Biometric Identification System (MAMBIS) pun buntu. Selain kerusakan sidik jari, para korban juga mayoritas belum memiliki KTP. Alhasil, tidak ada data yang bisa dicocokkan dengan sistem.
Upaya identifikasi melalui pakaian dan tanda lahir juga belum membuahkan hasil. Pakaian santri yang seragam koko putih serta minimnya ingatan keluarga terkait tanda lahir anaknya membuat proses semakin rumit.
“Banyak keluarga yang tidak bisa mengingat detail pakaian maupun ciri khusus anak-anaknya. Jadi, semuanya harus hati-hati,” terang Wahyu.
Meski demikian, Wahyu menegaskan bahwa tim DVI tidak menyerah. Semua prosedur ilmiah tetap dilakukan agar setiap jenazah bisa dikenali dan dipulangkan kepada keluarga.
“Tujuan utama kami adalah memastikan seluruh jenazah dimakamkan secara layak dan sesuai identitas,” tandasnya.
Sementara itu, jenazah korban sementara disimpan di kontainer freezer di RS Bhayangkara Polda Jatim. Proses identifikasi akan terus berlanjut hingga seluruh korban berhasil terdata. (*)