Scroll untuk baca artikel
Bonek Bule
TOP SAGU
TOP SAGU
TOP MEDIA
TOP FIGURES

Yohannes Somawiharja, Eks Rektor UC: Menyemai Mimpi, Menuai Generasi Entrepreneur

27
×

Yohannes Somawiharja, Eks Rektor UC: Menyemai Mimpi, Menuai Generasi Entrepreneur

Sebarkan artikel ini
Ir. Yohannes Somawiharja, M.Sc yang menjadi rektor pertama Universitas Ciputra pada 2015-2025. (Foto: Istimewa)
toplegal

TOPMEDIA – Di balik berdirinya Universitas Ciputra, ada sebuah perjalanan panjang yang tak banyak diketahui orang. Perjalanan yang bukan hanya tentang mendirikan gedung, menyusun kurikulum, atau mengurus izin, melainkan juga tentang melawan cara pikir lama, menghadapi cemooh, dan menanamkan keyakinan bahwa bangsa ini mampu melahirkan generasi pencipta kerja, bukan sekadar pencari kerja. Salah satu sosok kunci di balik perjalanan itu adalah Yohannes Somawiharja.

Pertemuan yang Mengubah Jalan Hidup

HALAL BERKAH

Semuanya berawal dari perbincangan sederhana. Yohannes yang saat itu sudah lama mengenal kepiawaian Ciputra, atau yang akrab disapa Pak Ci, sebagai begawan properti, tak pernah menyangka bahwa obrolan hari itu akan mengubah jalan hidupnya.

Pak Ci menyampaikan dengan lirih namun mantap. “Saya ingin mendirikan universitas.” Yohannes sempat terdiam. Pak Ci sudah terkenal membangun banyak universitas bersama rekan-rekannya, dari Tarumanegara hingga Prasetiya Mulya. Tapi kali ini, ada sesuatu yang berbeda.

“Universitas ini akan memakai nama saya sendiri,” lanjut Pak Ci. Kalimat itu membuat Yohannes berpikir keras. “Kalau begitu, universitas ini harus benar-benar mewakili siapa Pak Ci,” gumamnya.

Lalu ia bertanya langsung, “Kalau bukan universitas akademik seperti ITB atau UI, lalu apa yang membedakan universitas ini, Pak?”

Pak Ci tersenyum. “Saya ini bukan akademisi. Saya ini entrepreneur. Jiwa saya ada di kewirausahaan. Pertanyaan saya, Yohannes, apakah entrepreneurship bisa diajarkan?”

Itulah titik baliknya. Pertanyaan sederhana yang kemudian melahirkan gagasan besar: membuat universitas yang lulusannya tidak hanya mencari pekerjaan, melainkan mampu menciptakan pekerjaan.

Kampus Universitas Ciputra (UC) Surabaya di CitraLand CBD Boulevard, Made, Kec. Sambikerep, Surabaya. (Foto: Istimewa)

Melawan Cara Pandang Lama

Di awal 2000-an, gagasan itu dianggap terlalu aneh. Kata entrepreneurship masih identik dengan pedagang kaki lima atau pengusaha kecil. Ketika Yohannes dan tim menjelaskan konsep pendidikan kewirausahaan, banyak akademisi mencibir.

“Universitas kok ngajari jualan?” sindir mereka. Itu menjadi tantangan terbesar Yohannes: bagaimana menjual ide baru tentang entrepreneurship education di negeri yang masih nyaman dengan cara pikir lama.

Mereka pun pergi jauh untuk belajar di Babson College di Amerika yang dikenal sebagai universitas nomor satu di bidang entrepreneurship. Stanford University yang melahirkan banyak perusahaan teknologi raksasa. Hingga NUS di Singapura yang punya pusat entrepreneurship modern. Dari semua perjalanan itu, satu hal semakin jelas: entrepreneurship bukan sekadar bisnis, tapi cara berpikir.

“Bukan lagi soal apa yang kita bisa, tapi soal apa yang orang lain butuhkan. Dari kebutuhan itu lahir inovasi. Dan inovasi harus dieksekusi,” jelas Yohannes.

Generasi Pertama

Pada masa-masa awal, tantangan terbesar adalah meyakinkan calon mahasiswa dan orang tua. Beruntung, ada brand kuat dari Ciputra yang sudah terpercaya. “Pak Ci sendiri ikut jualan,” ujar Yo, mengenang bagaimana pendiri universitas itu turun tangan langsung.

Baca Juga:  Mengenal Zdenek Zeman, Pelatih yang Tak Pernah Menyesal

Angkatan pertama mereka berhasil mendapatkan sekitar 250 mahasiswa dengan lima program studi perdana yang sangat menjual, di antaranya Bisnis, IT, Perhotelan, Interior Design, dan Desain Komunikasi Visual.

Jadi dengan lima mata prodi tersebut, UC ingin membuka prodi lain yang mempelajari ilmu dasar seperti matematika, agama, sejarah dan lainnya.

UC akhirnya menemukan satu hal yang perlu dilatihkan ke mahasiswa sehingga mereka memiliki profil yang diharapkan, tapi seperti universitas umumnya yang memiliki artest liberales atau istilahnya MKU-nya yang jadi mata kuliah umum wajib diambil oleh mahasiswa.

Kalau dari pemerintah MKU yang wajib ada itu seperti Bahasa Indonesia, Pancasila, dan sebagainya. Nah, kalau di UC ada namanya MKE yakni Mata Kuliah Enterpreneurship.

“Jadi apapun mata kuliah yang diambil, wajib mengambil MKE ini  yang diberikan dalam jumlah SKS yang memadai. Dalam enterpreneur ini akan memiliki pola pikir dan pola tindak menjadi seorang enterpreneur,” jelas laki-laki yang hobi membaca buku ini antusias.

Nah, setelah menemukan konsepnya, pertanyaan berikutnya adalah bagaimana mengajarkannya? Lagi-lagi Yo mendapat tantangan. Namun ada satu kekuatan besar yakni nama Ciputra. Reputasi Pak Ci sebagai maestro properti memberi kepercayaan tambahan di tengah keraguan.

Perjalanan pun dimulai. Mahasiswa tak hanya belajar teori, tetapi wajib menjalankan bisnis nyata melalui project-based learning. Mereka membentuk kelompok, merintis usaha, dibimbing dosen dan para Entrepreneurs in Residence—praktisi bisnis yang hadir setiap minggu. Yohannes mengibaratkan konsep ini seperti “Hogwarts untuk entrepreneur”. Ada kurikulum khusus, ada mentor yang membimbing, dan ada praktik nyata di dunia bisnis.

Menurutnya, entrepreneurial mindset memiliki tiga pilar utama, yakni sensitivitas terhadap kebutuhan orang lain. Mampu melihat masalah dan kebutuhan yang ada di masyarakat. Yang kedua adalah kemampuan mengkonstruksi inovasi, yakni menggabungkan kreativitas dan sumber daya untuk menciptakan solusi, dan yang ketiga adalah kemampuan eksekusi, adalah kemampuan menerjemahkan rencana menjadi tindakan nyata di lapangan, dan siap beradaptasi dengan segala revisi.

Ir. Yohanes Somawihardja MSc. saat mewisuda lulusan Universitas Ciputra Surabaya. (Foto: Istimewa)

Dari Surabaya ke Panggung Dunia

Perjuangan itu tidak berhenti di tingkat nasional. Yohannes beberapa kali mendampingi Pak Ci bertemu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk memperjuangkan agar pendidikan kewirausahaan masuk dalam agenda negara. Ciputra bahkan mengikuti ajang World Entrepreneur of the Year di Monte Carlo, Monaco, tahun 2008, dan menjadi finalis.

Baca Juga:  Punya Penampilan Mirip, Terungkap Alasan Sophie Tak Hadiri Pemakaman Lady Diana

Untuk di level nasional pun, Pak Ci juga mendapat penghargaan di sebuah acara bergengsi yang diadakan oleh Ernst & Young tentang entrepreneurship of the year Indonesia. Dari situ terjalin juga hubungan dengan Kauffman Foundation di Amerika, lembaga terbesar di dunia dalam pendidikan entrepreneurship.

Namun, jalan yang ditempuh rupanya tidak mulus. Setiap inovasi selalu menimbulkan resistensi. “Seperti barang baru, pendidikan entrepreneurship ini butuh customer education,” kata Yohannes.

Bahkan beberapa profesor terkenal pernah mencibir dengan menyebut konsep itu sekadar ilmu dagang. Yohannes tak gentar. Ia dan tim berkeliling Indonesia, melatih ribuan dosen, menjelaskan filosofi kewirausahaan, dan membuktikan bahwa konsep ini bukan hanya soal bisnis, melainkan ilmu kehidupan.

Tahun 2007 menjadi momentum penting. Universitas Ciputra mendapat proyek melatih 1.400 dosen dari seluruh Indonesia tentang entrepreneurship. “Bayangkan, kalau mahasiswa yang dilatih, dampaknya terbatas. Tapi kalau dosen, mereka bisa menularkan kepada ribuan mahasiswa di universitas masing-masing,” tutur Yohannes.

Faktor “Will” Menentukan Keberhasilan Seseorang 

Kini, setelah lebih dari dua dekade, Universitas Ciputra berdiri tegak sebagai pelopor pendidikan kewirausahaan di tanah air. Ribuan lulusannya telah melahirkan berbagai usaha baru, menciptakan lapangan kerja, dan menjadi pionir di bidangnya masing-masing.

Namun bagi Yohannes, pencapaian terbesar bukanlah jumlah mahasiswa atau prestasi formal. Yang lebih penting adalah perubahan cara pandang.

“Lulusan UC apakah semuanya jadi enterpreneur? Ada satu faktor yang harus diakui, ada satu faktor yang tidak bisa dikontrol. Jadi faktor will atau keinginan orang jadi pengusaha itu kan tidak mudah. Berat. Kalau sampe gagal kan ditanggung sendiri, oleh sebab itu ada perencanaan yang baik,” paparnya.

“Risk taking seseorang itu berbeda-beda. Sama seperti universitas lain, misalnya seperti saya seorang mechanical engineering, apakah saya sebagai profesional atau yang lain. Jadi seseorang punya pilihan untuk  menentukan dia akan menjadi profesional atau enterpreneur. Orang bisa saja flip flop. Menjadi profesional dan sekaligus pebisnis atau salah satunya, semua itu bergantung pilihan,” lanjutnya. Yang terpenting bagaimana menerapkan kompetensi seseorang.

Dari hasil survey, sebanyak 43 persen lulusan UC jadi pengusaha, dan ini sudah bagus untuk standar global. Pembandingnya dari universitas lain menetapkan 32 persen. Menurut Yo, capaian ini sudah lebih dari cukup untuk universitas baru seperti UC.

“Sebenarnya apapun profesi yang mereka ambil tidak masalah sepanjang pola pikir dan pola tindaknya sudah dimiliki. Kalau toh jadi profesional, jadilah yang enterprenial, jangan jadi pegawai yang pokoknya ngenteni dikongkon, jadi harus punya inisiatif,” kata laki-laki yang fasih berbahasa Jawa ini.

Baca Juga:  Kisah Inspiratif Agus Bim-Bim Tessy: Dari Tribun Bonek ke Majelis Selawat, Tetap Setia pada Persebaya

Entrepreneurship itu bukan hanya ilmu bisnis. Itu ilmu kehidupan,” ujarnya.

Menurutnya, entrepreneurial mindset bisa dipakai siapa saja dan di bidang apa saja. Seorang guru, dokter, pendeta, bahkan seniman, bisa menjadi entrepreneur dalam hidupnya. Caranya sama, yakni pahami kebutuhan orang lain, ciptakan solusi, lalu berani mengeksekusinya. Itulah warisan yang ingin ditinggalkan Yohannes bersama Pak Ci. Sebuah keyakinan bahwa setiap anak bangsa bisa menjadi pencipta, bukan sekadar pengguna.

Ir. Yohanes Somawihardja dan batik koleksinya. (Foto: dok. Surya)

Tionghoa yang Suka Sejarah dan Budaya Jawa

Latar belakang keluarga sangat berpengaruh membentuk karakter Yo yang sejak kecil sudah akrab dengan benda-benda budaya. Neneknya seorang Tionghoa yang menganut Kejawen, dan sering berkebudayaan di keraton. Sehingga, Yo kecil sudah kenal dengan beragam budaya Jawa seperti batik, keris, wayang.

Secara periodik, Yo ketemu Eyang di Jogja. Dari situlah, Yo sangat mencintai kebudayaan Jawa. Hingga akhirnya, dia menjadi kolektor batik lawasan yang memiliki nilai budaya tinggi. Bahkan, Yo juga mengoleksi keris. Dia bahkan pernah mengunjungi kampung keris di Sumenep, Madura.

“Keris memiliki folosofi tinggi yang tidak semua orang memahami. Ini sangat membanggakan bila paham,” ulasnya sambil menjelaskan makna ukiran-ukiran dari keris.
Saking bangganya, Yo pernah memberikan keris ke Duta Besar Kanada di UC dengan menyertakan sertifikat di dalamnya. “Supaya mereka tahu, makna dari benda pusaka ini apa dan menyampaikan ke orang lain betapa kaya budaya kita,” kenangnya. Di luar dugaan, si Dubes tersebut sangat bangga dengan pemberian tersebut.

Menjaga Api Mimpi

Kini, Yohannes menatap kembali perjalanan panjang itu dengan hati penuh syukur. Dari perbincangan kecil dengan Pak Ci, lahir sebuah universitas yang mengubah wajah pendidikan di Indonesia.

“Bagi saya, ini bukan hanya tentang mendirikan kampus. Ini perjalanan hidup. Sebuah kesempatan untuk menyalakan lilin kecil yang bisa menerangi jalan banyak orang,” katanya pelan.

Ia tahu, jalan masih panjang. Tantangan zaman terus berubah, generasi berganti, dan dunia bisnis makin kompleks. Namun satu hal yang ia percaya: selama ada mimpi dan keberanian untuk mewujudkannya maka akan selalu ada harapan untuk masa depan.

Sebagai seorang Tionghoa yang cinta dengan budaya Jawa, ia berharap penghargaan terhadap karya-karya seni budaya Jawa perlu ditegaskan lagi terutama kepada generasi muda agar mereka tidak mengalami kekosongan idealisme bangsa. Hal ini juga penting untuk menangkal radikalisme. Kecintaan pada budaya bangsa yang ditanamkan sejak dini akan menguatkan patriotisme generasi muda. (ayunda/tm)

TEMANISHA.COM