Scroll untuk baca artikel
Bonek Bule
TOP SAGU
TOP SAGU
TOP MEDIA
LEGAL

Sertifikat Tanah 1961–1997 Rawan Sengketa, Pemerintah Dorong Peralihan ke Sertifikat Elektronik

9
×

Sertifikat Tanah 1961–1997 Rawan Sengketa, Pemerintah Dorong Peralihan ke Sertifikat Elektronik

Sebarkan artikel ini
Pemerintah mendorong pemilik segera mengubahnya ke sertifikat elektronik melalui aplikasi Sentuh Tanahku demi kepastian hukum dan keamanan data. (Foto: Kementerian ATR/BPN).
toplegal

TOPMEDIA – Pemilik sertifikat tanah yang diterbitkan antara tahun 1961 hingga 1997 diimbau segera melakukan konversi ke sertifikat elektronik (Sertipikat-el).

Dokumen lama tersebut umumnya belum dilengkapi peta kadastral, yaitu peta yang menunjukkan batas dan lokasi tanah secara akurat.

HALAL BERKAH

Tanpa peta ini, sertifikat sulit diverifikasi secara spasial dan berisiko tinggi mengalami tumpang tindih klaim atau konflik batas wilayah.

Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) menyarankan masyarakat segera melakukan digitalisasi dokumen tanah melalui aplikasi resmi Sentuh Tanahku.

Langkah ini menjadi bagian dari transformasi layanan pertanahan menuju sistem yang lebih transparan, efisien, dan aman.

Apa Itu Sertifikat Tanah Elektronik?

Sertifikat tanah elektronik adalah dokumen kepemilikan tanah yang diterbitkan dalam format digital berbentuk file PDF dan disimpan dalam brankas elektronik milik pemegang hak.

Baca Juga:  Resmi Berlaku! Marketplace Kini Wajib Potong Pajak Otomatis dari Seller Online!

Sertifikat ini dapat diakses melalui aplikasi Sentuh Tanahku dan dicetak secara resmi menggunakan kertas berstandar keamanan khusus oleh Kantor Pertanahan.

Menurut data Kementerian ATR/BPN per Oktober 2025, sebanyak 6,1 juta sertifikat tanah elektronik telah diterbitkan, atau sekitar 6,4% dari total sertifikat tanah nasional.

Dalam setahun terakhir, penerbitan sertifikat elektronik melonjak lebih dari 5,5 juta dokumen, menunjukkan antusiasme masyarakat terhadap sistem digital.

Peralihan ke sertifikat elektronik juga memiliki landasan hukum yang kuat. Berdasarkan Pasal 8 ayat 1 huruf f Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, informasi yang tidak sesuai dengan label atau keterangan dapat menyesatkan dan merugikan konsumen.

Pelanggaran terhadap ketentuan ini dapat dikenakan sanksi pidana maksimal lima tahun penjara atau denda hingga Rp 2 miliar, sebagaimana tercantum dalam Pasal 62 ayat 1.

Baca Juga:  DPR Libatkan VISI dan AKSI Godok UU Hak Cipta

Dalam konteks pertanahan, sertifikat yang tidak mencantumkan informasi spasial akurat dapat dianggap tidak memenuhi janji layanan publik dan berpotensi melanggar hak konsumen.

Oleh karena itu, digitalisasi sertifikat tanah menjadi langkah penting untuk menjaga kejujuran, konsistensi, dan kepercayaan publik terhadap sistem pertanahan nasional.

Konversi sertifikat tanah lama ke format elektronik bukan hanya soal modernisasi, tetapi juga perlindungan hukum dan kepastian kepemilikan.

Dengan memanfaatkan aplikasi Sentuh Tanahku, masyarakat dapat memperbarui dokumen tanah secara mandiri dan aman.

Pemerintah mengingatkan bahwa keterlambatan dalam melakukan digitalisasi dapat membuka celah sengketa dan risiko hukum yang merugikan pemilik tanah.

Transformasi ini menjadi bagian dari upaya nasional menuju sistem pertanahan yang transparan, akurat, dan berkelanjutan. (*)

TEMANISHA.COM