Scroll untuk baca artikel
Bonek Bule
TOP SAGU
TOP SAGU
TOP MEDIA
ENTREPRENEURSHIP

Rojali, Rohana dan Robeli: Cermin Baru Konsumsi Masyarakat Urban di Indonesia

37
×

Rojali, Rohana dan Robeli: Cermin Baru Konsumsi Masyarakat Urban di Indonesia

Sebarkan artikel ini
Ilustrasi pengunjung di pusat perbelanjaan (Foto: freepik)
toplegal

TOPMEDIA – Dalam beberapa pekan terakhir, istilah Rojali (rombongan jarang beli), Rohana (rombongan hanya nanya), dan Robeli (rombongan benar-benar beli) kembali menjadi bahan pembicaraan hangat. Tiga istilah ini bukan sekadar plesetan lucu, tetapi mencerminkan kenyataan yang lebih dalam terkait perilaku konsumsi masyarakat urban Indonesia.

Fenomena ini muncul dari kebiasaan masyarakat yang berkunjung ke pusat perbelanjaan hanya untuk jalan-jalan, bertanya-tanya, namun tak banyak melakukan transaksi.

TOP LEGAL PRO

Wakil Menteri Perdagangan, Dyah Roro Esti Widya Putri, menyebut bahwa tren ini adalah imbas dari pergeseran gaya hidup dan perkembangan belanja daring. Menurutnya, saat ini masyarakat lebih memilih kenyamanan berbelanja dari rumah, ketimbang menghabiskan waktu di mal untuk belanja.

“Karena gaya hidup masyarakat baik di Indonesia maupun dunia mulai berubah. Kita disuguhkan opsi untuk bisa belanja dari rumah,” ujarnya saat peluncuran Indonesia Shopping Festival, Rabu (6/8/2025).

Baca Juga:  Empat Calon Sekda Surabaya Masuki Tahap Akhir, Pemkot Segera Ajukan Nama ke Gubernur Jatim

Untuk mendongkrak kembali transaksi offline, pemerintah dan Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) menggagas berbagai diskon dan promo spesial, khususnya menjelang HUT Kemerdekaan RI ke-80.

Namun menurut Ketua APPBI, Alphonzus Widjaja, fenomena ini bukan hal baru. “Rohana–Rojali itu memang selalu terjadi, hanya saja intensitasnya naik turun tergantung musim,” jelasnya.

Ia menyoroti bahwa low season kedua tahun ini terjadi lebih panjang, dari akhir libur sekolah hingga akhir tahun nanti, memperpanjang masa pusat perbelanjaan sepi transaksi.

Menariknya, fenomena ini bukan cuma terjadi di kalangan menengah ke bawah. Kelas menengah ke atas pun menunjukkan kecenderungan menahan belanja karena ketidakpastian global dan pilihan untuk menyimpan dana atau berinvestasi.

“Bukan karena tidak mampu, tapi mereka memilih menahan belanja,” ungkap Alphonzus.

Hal senada juga disampaikan Ekonom Celios, Nailul Huda. Ia menilai perbandingan harga antara toko fisik dan online menjadi salah satu penyebab utama. “Mereka jalan-jalan, lihat-lihat, tanya-tanya, tapi tetap belinya online karena lebih murah,” ujarnya.

Baca Juga:  Buka Sewa Sepatu Adidas, Surya Adi Meraup Untung dari Tren Casual yang Marak

Namun dari sisi yang berbeda, Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan bahwa fenomena ini tidak memberi dampak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi nasional. Konsumsi rumah tangga tetap tumbuh, bahkan menyumbang 2,64% terhadap pertumbuhan ekonomi nasional yang mencapai 5,12% pada kuartal II 2025.

“Rojali dan Rohana tidak menurunkan daya beli secara agregat. Belanja masyarakat tetap kuat, hanya salurannya bergeser ke online,” kata Kepala BPS, Amalia Widyasanti.

Bukan Sebuah Ancaman

Para ahli ekonomi yang melihat fenomena ini menilai bahwa Rojali dan Rohana bukanlah sebuah ancaman bagi sektor konsumsi. Justru sebaliknya, istilah-istilah ini memperlihatkan cara adaptif masyarakat dalam menghadapi tekanan ekonomi tanpa kehilangan semangat hidup.

Menurut mereka, ini adalah bentuk “ekonomi rakyat” yang mengekspresikan kondisi lapangan dengan cara yang jenaka, namun relevan. Tambahnya, fenomena Rojali dan Rohana ini tidak akan menjadi musuh pasar, namun lebih menunjukkan bagaimana masyarakat sedang bernegosiasi antara keinginan, keperluan, dan kemampuan.

Baca Juga:  Harga Emas Antam Turun Rp9.000/Gram per 6 Agustus, Saatnya Beli?

Fenomena ini juga tidak sepenuhnya negatif bagi industri. Dalam dunia asuransi misalnya, calon nasabah yang masuk kategori “Rohana” justru dianggap sebagai pasar potensial. Dengan pendekatan produk yang tepat, mereka bisa bertransformasi menjadi Robeli.

Artinya, selama pelaku usaha mampu memahami latar belakang dan dinamika sosial ekonomi konsumennya, maka fenomena ini justru bisa dijadikan strategi pendekatan baru, bukan ancaman.

Sementara itu, BPS menegaskan bahwa fenomena ini tak berdampak langsung pada tingkat kemiskinan, sebab sebagian besar terjadi di kalangan kelas menengah. Fokusnya bukan pada tidak mampu membeli, melainkan perubahan preferensi dan cara konsumsi. (*)

TEMANISHA.COM