TOPMEDIA – Konflik Timur Tengah yang tak kunjung mereda di Gaza tampaknya mulai menimbulkan keretakan di dalam masyarakat Israel sendiri. Di tengah gelombang serangan yang terus berlanjut, muncul suara-suara penolakan dari para pemuda dan pemudi Israel terhadap wajib militer yang diterapkan negeri zionis itu. Bagi para generasi muda ini, perang bukan lagi tentang membela negara, melainkan tentang moralitas dan kemanusiaan.
Seorang pemudi Israel bernama Yona Rosmann menjadi salah satu wajah dari gerakan penolakan ini. Dalam sebuah wawancara dengan BBC 5 live drive, ia mengungkapkan bahwa dirinya dan rekan-rekannya siap menghadapi konsekuensi dari keputusan mereka.
Yona dan kawan-kawannya belum lama ini melakukan aksi protes di Tel Aviv, yang puncaknya ditandai dengan pembakaran formulir wajib militer. Aksi ini menjadi simbol kuat dari penolakan mereka.
Alasan Yona dan rekan-rekannya menolak bergabung dengan militer sangatlah jelas. Mereka menganggap tindakan Israel di Gaza sebagai genosida.
Rasa simpati mereka terhadap warga Palestina, terutama para milisi, membuat mereka tidak sanggup untuk menjadi bagian dari apa yang mereka yakini sebagai sebuah ketidakadilan.
Gerakan ini bukanlah hal baru. Sejak awal konflik, banyak warga Israel, terutama generasi muda, yang menentang kebijakan pemerintah mereka. Namun, penolakan secara terang-terangan terhadap wajib militer seperti yang dilakukan oleh Yona Rosmann ini menunjukkan peningkatan keberanian dan tekad.
Sebagai negara yang masih terikat dalam konflik bersenjata, Israel memiliki peraturan wajib militer yang ketat. Semua warga negara, baik pria maupun wanita, wajib menjalani masa dinas militer.
Menolak wajib militer bisa berujung pada hukuman penjara. Namun, bagi Yona dan rekan-rekannya, risiko ini sebanding dengan apa yang mereka perjuangkan: hati nurani yang bersih dan suara kemanusiaan yang harus didengarkan.
Meskipun Israel secara resmi menolak tuduhan genosida dari dunia internasional dan warganya sendiri, kenyataan di lapangan dan pemberitaan media global tampaknya telah membentuk pandangan baru di kalangan generasi muda Israel. Mereka menyaksikan penderitaan di Gaza dan menyimpulkan bahwa apa yang terjadi melampaui batas-batas perang yang dapat diterima.
Gerakan penolakan ini memberikan tantangan serius bagi pemerintah Israel. Mereka tidak hanya harus menghadapi tekanan dari dunia luar, tetapi juga dari dalam negeri. Jika semakin banyak pemuda yang menolak, kekuatan militer Israel bisa melemah, dan legitimasi pemerintah dalam mengelola konflik akan semakin dipertanyakan.
Yona Rosmann dan rekan-rekannya tidak hanya berjuang untuk diri mereka sendiri, tetapi juga untuk sebuah masa depan di mana konflik tidak lagi diselesaikan dengan kekerasan. Mereka berharap suara mereka didengar dan membuka jalan bagi perdamaian yang adil, bukan hanya untuk warga Palestina, tetapi juga untuk warga Israel yang lelah dengan perang. (*)