TOPMEDIA – Di dunia media sosial yang berlari tanpa jeda, Jennifer Fukuhara belajar satu hal sejak dini: siapa yang terlambat membaca arah angin, akan tertinggal.
Bagi Jenny, sapaan karibnya, media sosial bukan sekadar ruang pamer, melainkan arena dinamis yang menuntut kepekaan, kecepatan, dan keberanian beradaptasi.
Tren datang dan pergi dengan cepat, dan seorang content creator dituntut untuk selalu sigap membaca apa yang sedang disukai pasar, tanpa kehilangan jati diri.
Akrab dengan Media Sosial sejak Kecil
Perjalanan itu tidak dimulai dengan rencana besar. Jauh sebelum istilah “influencer” menjadi profesi bergengsi, Jenny sudah lebih dulu akrab dengan dunia konten sejak duduk di bangku SMP.
Sekitar sepuluh tahun lalu, ia mulai membuat konten kecil-kecilan, mengulas mainan, slime, squishy, hingga pakaian anak-anak. Saat Instagram masih didominasi foto statis, Jenny sudah belajar satu hal penting yakni konsistensi dan keberanian mencoba.
“Dulu sistemnya foto, sekarang semua serba video,” ujarnya dalam sebuah wawancara dengan TOP Media.
Perubahan platform tidak membuatnya mundur. Justru di sanalah, Jenny menempa insting adaptasinya. Ia tak pernah mengikuti kelas khusus atau pelatihan formal. Cara belajarnya sederhana namun efektif: mengamati.
Jenny banyak terinspirasi dari kreator lain. Secara lokal, ia mengagumi Titan Tyra. Bukan untuk ditiru, tetapi untuk dipelajari pendekatannya yang santai dan komunikatif.
Dari ranah internasional, ia mengikuti kreator perempuan asal Jepang yang kerap menghadirkan animasi dan visual unik. Dari sana, Jenny merangkai gayanya sendiri sesuai dengan karakter dan pasar yang ia tuju.

Belakangan, kontennya memang banyak berkutat pada dunia kuliner. Namun, di balik setiap unggahan makanan yang menggugah selera, ada proses seleksi yang ketat.
Jenny tidak pernah asal menerima tawaran endorsement. Ia memilih datang langsung ke lokasi, mencicipi sendiri, dan memastikan kualitasnya. Jika tidak sesuai, ia tak ragu menolak, bahkan mengembalikan bayaran.
“Buatku, kepercayaan audiens itu mahal,” katanya. Prinsip itu membuatnya berani berkata tidak, meski tawaran menggiurkan datang silih berganti.
Mahasiswa International Business Management di Universitas Ciputra
Saat banyak orang memandang influencer sebagai pekerjaan penuh waktu, Jenny memilih jalan di tengah. Ia menjalani profesi ini secara paruh waktu, berdampingan dengan statusnya sebagai mahasiswa dan peserta magang.
Waktunya terbagi, energinya terbatas, tetapi ia sadar betul prioritas yang sedang ia bangun.Dengan demikian ia melatih diri untuk selalu membuat prioritas dalam hidupnya.
Lingkungan kampusnya, Universitas Ciputra (UC) Surabaya, justru menjadi ruang yang mendukung pilihannya. Alih-alih memanfaatkan status mahasiswa untuk meminta promosi gratis, kampus memperlakukannya secara profesional.
Jenny yang berkuliah di jurusan International Business Management (IBM) bahkan beberapa kali mendapat bayaran resmi untuk endorsement acara kampus. Baginya, ini bukan soal uang semata, melainkan bentuk penghargaan terhadap kerja kreatif.
Masuk ke UC pun merupakan keputusan pribadi dengan didorong oleh ambisi dan kesempatan beasiswa penuh.
Pendidikan, bagi Jenny, adalah pondasi penting untuk melangkah lebih jauh.
Ia sadar betul bahwa kesempatan tidak akan datang dua kali. Sekali berniat dan terbuka kesempatan, maka segera diambilnya kesempatan tersebut.
Membangun Nilai lewat Media Sosial
Tentang masa depan, Jenny tidak menutup kemungkinan apa pun. Namun, menjadi artis bukanlah tujuan utamanya. Ia justru melihat peluang lebih besar di balik layar, yakni membangun agensi media sosial.
Permintaan dari berbagai brand untuk dikelola akunnya sudah sering datang, hanya saja keterbatasan waktu dan sumber daya membuatnya menunda.
Suatu hari, ia membayangkan memiliki tim yang bekerja atas namanya, membangun nilai dan bukan sekadar mengejar angka.

Ia yakin, industri media sosial dan agensi digital tidak akan pernah mati. Di era ketika semua brand berlomba hadir di layar ponsel, nilai dan diferensiasi menjadi kunci.
Pesan Jenny untuk para kreator pemula terdengar sederhana, tapi sarat makna: jangan memulai dengan mindset uang. Fokuslah membangun personal branding dan nilai yang ingin dibawa. Uang, menurutnya, akan datang sebagai konsekuensi, bukan tujuan.
Prinsip itu pula yang membuatnya konsisten menolak endorsement produk 21+, rokok, minuman keras, atau busana yang tidak sejalan dengan nilai yang ia pegang. Meski bayarannya bisa berlipat ganda, Jenny memilih menjaga citra dan prinsip, sebagai individu dan sebagai mahasiswa.
“Value itu mahal,” katanya menutup percakapan. “Dan tidak bisa dibangun dalam satu hari, apalagi dibeli dengan uang.” tegasnya.
Di tengah derasnya arus media sosial, Jenny memilih berjalan dengan kompasnya sendiri. Tidak tergesa, tidak silau, tetapi tahu betul ke mana ia melangkah.
*Ay



















