TOPMEDIA-Pada awal 2000-an, keberadaan ponsel di Indonesia bisa dibilang langka dan hanya dimiliki kalangan tertentu.
Saat itu, perangkat komunikasi genggam masih menjadi simbol kemewahan, bukan kebutuhan pokok seperti sekarang.
Harga satu unit ponsel bisa mencapai Rp2 juta hingga Rp3 juta nominal yang pada masa itu cukup besar untuk menutupi biaya hidup bulanan keluarga kecil.
Merek-merek ternama seperti Nokia, Siemens, dan Ericsson mendominasi pasar dengan fitur yang kini terlihat sederhana, seperti panggilan suara, SMS, hingga permainan klasik Snake.
Namun pada masa itu, kemampuan tersebut sudah dianggap sebagai lompatan besar dalam teknologi komunikasi.
Minimnya produsen dan mahalnya biaya produksi menjadikan ponsel sulit dijangkau masyarakat umum.
Kondisi ini menunjukkan adanya kesenjangan akses terhadap teknologi, yang dapat disebut sebagai bentuk “bencana digital” pada masanya di mana sebagian besar masyarakat belum memiliki sarana komunikasi cepat untuk keperluan darurat atau informasi bencana.
Seiring perkembangan zaman, upaya pemerintah dan industri telekomunikasi dalam memperluas jaringan serta menurunkan harga perangkat menjadi bentuk mitigasi penting terhadap kesenjangan digital tersebut.
Kini, kepemilikan ponsel tidak lagi terbatas pada kalangan tertentu, melainkan telah menjadi kebutuhan dasar dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk penanganan bencana, komunikasi cepat, dan penyebaran informasi publik.
Transformasi ini menunjukkan bagaimana kemajuan teknologi dapat mengatasi keterbatasan masa lalu dan memperkuat kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi berbagai situasi darurat.



















