TOPMEDIA – Dunia estetika berkembang cukup pesat. Perkembangan tren dan gaya hidup sangat mempengaruhinya. Bahkan kini banyak dokter maupun calon mahasiswa kedokteran yang sudah berancang-ancang menggeluti bidang ini.
Tapi berbeda dengan kisah dr Maharani Kandhisa. Dia menggeluti bidang kedokteran, dan bahkan menjadi dokter estetika, bukan merupakan sesuatu yang direncanakan.
Dokter Rani, begitu ia akrab disapa, menceritakan kisahnya. Pada awalnya dia tidak pernah membayangkan kalau akan menjadi seorang dokter.
Dia hanya mengikuti kemauan orang tuanya untuk menjalani pendidikan kedokteran di Universitas Wijaya Kusuma (UWK) Surabaya.
Setelah lulus profesi dokter di tahun 2014, dr Rani bertugas di berbagi klinik pengobatan mulai dari Surabaya, Gresik, hingga Madura.
Kemudian dilanjutkan bertugas sebagai dokter operasional medical check up karyawan tambang batubara di beberapa site tambang batubara.
“Setelah beberapa tahun bertugas sebagai dokter medical check up di tambang batu bara, kemudian saya mulai menekuni dunia estetika medis. Nah, mungkin karena saya sendiri pada dasarnya punya jiwa seni yang tinggi dimana hobi saya yang suka membuat lukisan,” ceritanya.
Di dunia estetika medis ini, dr Rani seolah menemukan hal yang sangat menarik. “Bagi saya, estetika adalah titik temu antara seni dan medis, di mana presisi ilmiah bertemu dengan rasa keindahan,” sambungnya.
Sebagai dokter estetika, dr Rani mempunyai keyakinan bahwa kecantikan sejati tidak harus mengikuti satu standar.
Menurutnya, setiap wajah memiliki karakter dan keindahan yang unik, seperti karya seni yang nilai terbesarnya justru ada pada keunikan rupanya.
“Peran estetika medis ini, yaitu bagaimana menjaga keindahan dan keunikan tersebut tetap pada porsinya agar tampak proporsional dan harmonis,” terang pemilik brand LEUTI ini.
Dirinya juga menyoroti salah kaprah dari mindset cantik dan standar tren kecantikan yang dibangun oleh sosial media maupun industri. Yaitu cantik harus putih pucat.
“Memang memiliki kulit yang bersih akan tampak menarik, namun tidak harus putih ya. Mindset ini berkembang luas karena proses yang panjang seperti contoh, pengaruh sejarah dari zaman kolonial,” tuturnya.
“Dulu, masyarakat sering memandang kulit putih sebagai simbol ‘kelas atas’. Karena orang-orang yang memiliki warna kulit lebih putih ini adalah orang yang tidak bekerja di luar rumah (terhindar dari matahari) dianggap lebih berstatus,” imbuhnya.
Pandangan ini terbawa hingga di zaman modern. Standar kecantikan global yang dipengaruhi media, iklan, film, dan selebritas dari berbagai negara dengan mayoritas berkulit terang membentuk persepsi bahwa kulit cerah adalah yang ideal. Akhirnya banyak brand mempromosikan produk “whitening” sebagai simbol kecantikan.
“Dan diperkuat lagi dengan filter-filter di sosial media yang mengubah warna kulit menjadi putih banget,” terangnya.
Kurangnya edukasi tentang bagaimana cara menjaga kulit sehat tanpa mengubah keaslian warnanya menjadi salah satu alasan kenapa mindset ‘kulit putih itu cantik’ menjadi berkembang pesat.
Menurutnya, banyak orang belum paham bahwa kecantikan sejati justru datang dari kulit yang sehat, terawat, dan percaya diri dengan warnanya sendiri, bukan dari tingkat putihnya.
Budaya sosial dan pergaulan juga turut mempengaruhi mindset itu. Ungkapan sehari-hari seperti “kulitmu makin putih ya, makin cantik” tanpa sadar memperkuat mindset “putih sama dengan cantik”.
Dr Rani juga menyoroti pesatnya industri estetika yang dianggap memiliki prospek yang bagus, khususnya dalam pengembangan usaha dan mencari keuntungan.
Baginya, memang betul industri estetika sangat potensial dan menjadi salah satu bidang yang sangat menjanjikan dan diminati banyak orang.
“Tapi menurut saya, estetika bukan sekadar tentang mempercantik kulit, wajah dan tubuh, atau hanya mengikuti tren saja, melainkan bidang medis yang membutuhkan ilmu, pengalaman, dan tanggung jawab besar terhadap kesehatan dan keselamatan pasien itu sendiri,” katanya.
Oleh karena itu, penting sekali bagi masyarakat untuk lebih selektif dalam memilih tempat dan kepada siapa meraka mempercayakan estetika kecantikannya, termasuk saran perawatan dan skincare sebagai rutinitas setiap hari, sebaiknya benar-benar memahami aspek medis dan etika profesi.
“Hasil yang indah itu seharusnya lahir dari proses yang benar dan aman, bukan sekadar mengikuti tren,” tegasnya.
Dr Rani juga melihat industri estetika ke depan akan semakin berkembang dan terarah.
Buktinya, dari tahun ke tahun selalu ada inovasi untuk dunia estetik. Mulai dari skincare, dari sisi teknologi, dan metode penanganannya.
Masyarakat sekarang juga semakin cerdas dan kritis dalam memilih perawatan, jadi klinik atau tenaga profesional yang punya dasar ilmu medis dan hasil yang terbukti akan semakin dipercaya.
“Tapi menurut saya, esensi dari estetika tidak akan berubah, yaitu membantu seseorang merasa lebih percaya diri, bukan mengubah jati dirinya,” ungkapnya.
Dr Rani berharap dunia estetika medis bisa menjadi ruang yang positif, yaitu tempat di mana setiap orang merasa diterima dan dibantu untuk tampil lebih percaya diri tanpa harus kehilangan jati diri.
“Karena bagi saya, kecantikan sejati itu bukan soal mengubah, tapi merawat dan menghargai diri sendiri tanpa mengorbankan kesehatan. Karena memiliki tubuh yang sehat adalah masa depan di hari tua,” pungkasnya. (*)