TOPMEDIA – Kabar duka menyelimuti dunia seni tradisi Indonesia, khususnya di Kota Malang. Mbah Rasimun, sosok yang selama puluhan tahun jadi penjaga seni payung kertas, berpulang pada Kamis (20/11/2025) pukul 05.15 WIB. Pesan tentang kepergiannya menyebar cepat lewat grup WhatsApp sejak pagi hari, disertai doa dan ungkapan belasungkawa dari banyak pihak.
Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.
Lelaki sepuh yang tinggal di Pandanwangi, Blimbing, Kota Malang itu menutup usia di umur 98 tahun. Prosesi pemakaman digelar di hari yang sama sekitar pukul 10.00 WIB. Kepergiannya langsung mengundang simpati dari warga hingga para pegiat seni budaya, banyak yang mengenangnya bukan sekadar pembuat payung, tapi penjaga tradisi yang menghidupkan identitas lokal Malang di mata dunia.
Sosok Renta yang Tak Pernah Lelah Berkarya
Meski usianya hampir satu abad, Mbah Rasimun dikenal sangat telaten dan penuh detail dalam setiap karya. Dari kertas dan bambu biasa, lahirlah payung-payung berseni tinggi dengan corak khas yang membuat namanya terdengar hingga luar kota. Bahkan, karya-karyanya pernah mencuri perhatian Sri Paduka Mangkunagoro IX Kasunanan Surakarta dan Mataya.
Di lingkungannya, ia bukan hanya disebut pengrajin. Ia dianggap maestro, gelar yang akhirnya diberikan secara resmi sebagai penghormatan atas dedikasinya menjaga seni payung kertas Indonesia. Penghargaan itu diterima melalui kedua anaknya, Rusikin dan Yuyun Sulastri, yang selama ini setia mendampingi sang ayah melalui komunitas Karya Bumi Ngalam (Kabunga).
Tak lama setelah kabar penghargaan diterima, Mbah Rasimun terbang ke Surakarta untuk menerima gelar tersebut secara langsung. Di sana, ia bahkan memperagakan proses pembuatan payung kertas di depan para pengunjung, bukti bahwa semangat berkaryanya tak surut meski fisiknya menua.
Dari Jualan Lokal hingga Tembus Jepang dan Prancis
Perjalanan seni Mbah Rasimun dimulai sejak tahun 1945. Awalnya, payung-payung buatannya hanya dijual di beberapa titik lokal di Malang. Namun konsistensi yang terus dijaga membuat karyanya menembus pasar internasional. Wisatawan mancanegara berburu hasil karyanya, dan bahkan sebelum wafat, ia menerima pesanan dari Jepang dan Prancis. Ada rencana undangan ke Thailand untuk kembali memamerkan proses pembuatannya, sayangnya, tak sempat terlaksana.

Keberhasilannya mengharumkan nama Malang membawa semangat baru bagi warga. Muncul gagasan mengembangkan kawasan seni bertema Kampung Payung sebagai destinasi wisata kreatif. Banyak pihak berharap jejak yang ia tinggalkan bisa menjadi sumber ekonomi sekaligus identitas budaya.
Warisan yang Tak Boleh Terputus
Putrinya, Yuyun, bertekad meneruskan warisan sang ayah. Melalui komunitas Kabunga, ia mengembangkan kolaborasi baru antara payung kertas dan seni lukis topeng Malang, lahirlah karya bertajuk “Payung Ngepot” (ngepot adalah bahasa walikan dari topeng). Proyek ini digarap bersama para pelukis topeng di Desaku Menanti, Tlogowaru, dengan harapan bisa membuka peluang usaha bagi warga sekitar.
Kolaborasi seperti ini bukan hal baru. Sebelumnya, Kabunga juga bekerja sama dengan pelukis-pelukis ternama di Malang, menghasilkan karya yang laris di pasaran dan menarik perhatian wisatawan asing.
Yuyun pernah mengungkapkan rasa syukurnya memiliki ayah seorang maestro, sekaligus harapan agar seni payung kertas tetap tumbuh setelah sang ayah berpulang. Baginya, warisan ini bukan hanya seni, tapi jalan bagi masyarakat untuk berkembang bersama.
Mbah Rasimun telah pergi, namun karya-karyanya tetap menjadi payung yang menaungi perjalanan seni Kota Malang. Warisannya bukan hanya karya fisik, tetapi semangat agar tradisi tetap hidup dan menghidupi banyak orang.
Selamat jalan, maestro. (*)



















