TOPMEDIA – Upaya masif Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya dalam memitigasi penyebaran HIV/AIDS menunjukkan tren positif. Dinas Kesehatan (Dinkes) Surabaya mencatat penurunan kasus baru sebesar 10,03 persen hingga Oktober 2025, dibandingkan periode yang sama pada tahun sebelumnya.
Penurunan ini menjadi catatan menarik mengingat posisi strategis Surabaya sebagai pusat rujukan medis bagi wilayah Indonesia Timur, yang membuat kota ini menampung beban pasien dari berbagai daerah.
Kepala Dinas Kesehatan Surabaya, Nanik Sukristina, mengungkapkan bahwa keberhasilan menekan angka kasus ini tidak lepas dari strategi jemput bola dan penguatan fasilitas kesehatan tingkat pertama yakni di Puskesmas.
Puskesmas kini tidak hanya berfungsi sebagai pos deteksi dini, melainkan telah bertransformasi menjadi pusat layanan komprehensif bagi Orang dengan HIV (ODHIV).
Guna mendekatkan layanan kepada masyarakat, Dinkes Surabaya telah menyiagakan 126 lokasi tes HIV. Fasilitas ini tersebar di 63 Puskesmas, 62 rumah sakit, dan satu klinik utama.
Fokus utama layanan ini menyasar kelompok berisiko tinggi, mulai dari pekerja seks, pengguna narkoba suntik, kelompok lelaki seks dengan lelaki (LSL), hingga ibu hamil dan calon pengantin.
“Kami menyediakan fasilitas ini untuk memudahkan masyarakat. Puskesmas kini memiliki peran vital, mulai dari deteksi awal, pengobatan, hingga pemberian obat Antiretroviral (ARV) secara rutin,” ujar Nanik, Selasa (2/12/2025).
Layanan HIV di Puskesmas juga telah terintegrasi dengan layanan kesehatan esensial lainnya, seperti pemeriksaan TBC, Pemeriksaan Kesehatan Gratis (PKG), serta skrining wajib bagi calon pengantin.
Langkah integrasi ini dinilai efektif untuk memutus mata rantai penularan sedini mungkin tanpa membebani pasien untuk berpindah-pindah fasilitas kesehatan.
Data Dinkes Surabaya menyingkap fakta menarik terkait demografi pasien. Nanik memaparkan bahwa meskipun kasus ditemukan di fasilitas kesehatan Surabaya, mayoritas pasien bukanlah warga ber-KTP Surabaya.
“Hingga Oktober 2025, sekitar 52,48 persen kasus baru HIV di Surabaya berasal dari warga luar kota,” jelas Nanik.
Tingginya angka pasien dari luar daerah ini mengonfirmasi peran Surabaya sebagai sentra rujukan kesehatan. Meski demikian, Pemkot Surabaya berkomitmen memberikan pelayanan setara tanpa memandang status kependudukan, sembari tetap menjaga tren penurunan kasus secara keseluruhan.
Di balik penurunan angka kasus, Nanik mengakui bahwa tantangan sosial masih menjadi tembok tebal dalam penanggulangan HIV/AIDS. Stigma negatif dan diskriminasi di tengah masyarakat kerap membuat kelompok berisiko tinggi, khususnya kelompok tertutup seperti LSL, enggan memeriksakan diri.
Untuk mengurai masalah ini, Dinkes menggandeng berbagai pihak, mulai dari Aliansi Surabaya Peduli AIDS (ASPA), kelompok pendamping sebaya, hingga organisasi perangkat daerah (OPD) terkait.
Di sektor hulu, edukasi gencar dilakukan di sekolah-sekolah mulai SMP hingga SMA guna membentengi generasi muda dari bahaya pergaulan bebas dan narkoba. Kader kesehatan dan Karang Taruna juga dilibatkan untuk memperluas jangkauan penyuluhan hingga ke akar rumput.
“Tantangan terbesar kami adalah stigma. Namun, kami tetap berkomitmen memastikan setiap warga, termasuk pendatang, mendapatkan akses layanan kesehatan terbaik di Surabaya tanpa diskriminasi,” pungkas Nanik. (*)



















