HARI itu, ruang rapat utama dipenuhi wajah-wajah tegang. Semua pemegang saham hadir termasuk Bram, Brili, Beryl dan Broto, yang meski tidak lagi menjabat masih duduk di kursi paling depan, persis di tengah.
Aku tahu, kehadirannya bukan sekadar formalitas. Dia ingin menunjukkan bahwa kendali masih di tangannya.
Ketua rapat membuka acara.
“Agenda hari ini, pembahasan proposal digitalisasi operasional dan perluasan sistem yang telah diujicoba di unit Surabaya.”
Aku maju ke depan untuk memaparkan data yang sudah kususun. Grafik penjualan melonjak, biaya operasional turun, dan waktu produksi lebih efisien.
“Ini bukan sekadar tren, tapi kebutuhan. Pasar bergerak cepat dan kalau kita tidak mengikuti, kita akan tertinggal,” jelasku sambil menatap satu per satu anggota keluarga.
Baru beberapa menit paparanku berjalan, Broto mengangkat tangan.
“Saya ingin mengingatkan, dulu perusahaan ini dibangun tanpa teknologi rumit seperti itu. Jangan sampai kita mengorbankan nilai-nilai yang sudah membuat kita besar,” katanya.
Aku menghela napas.
“Pak Broto, saya menghormati sejarah. Tapi dalam hukum perusahaan, terutama menurut UU Perseroan Terbatas, keputusan seperti ini harus mempertimbangkan kelangsungan hidup perusahaan. Data yang kami punya membuktikan langkah ini menguntungkan,” jelasku.
Bram langsung menimpali. “Brina ini terburu-buru. Kita belum siap. Lagi pula, saya rasa dia hanya mencari pencitraan.”
Sorakan kecil terdengar dari kubu pendukung Bram. Tapi aku tidak gentar.
“Bram, ini bukan soal citra. Ini soal keberlangsungan bisnis keluarga kita di masa depan. Dan, saya ingin semua ini diputuskan di forum ini, bukan lewat perintah satu orang yang tidak lagi tercatat dalam jajaran direksi.”
Suasana memanas.
Broto menatapku tajam. “Kamu menantang saya?”
Aku balas menatapnya. “Saya menantang sistem lama yang tidak lagi relevan.”
Beberapa detik hening. Lalu, suara ketua rapat memecah ketegangan.
“Baik, kita bawa ini ke voting. Sesuai anggaran dasar, keputusan sah bila disetujui 50%+1 dari total suara.”
Semua mata tertuju pada daftar pemegang saham.
Jantungku berdegup keras.
Aku tahu hasilnya akan menentukan apakah aku akan dilihat sebagai penyelamat, atau penghancur.
(Bersambung)