BEBERAPA minggu terakhir, jadwalku penuh dengan pertemuan tertutup. Bukan rapat resmi, tapi diskusi informal dengan para pemegang saham keluarga.
Aku memulai dari yang paling mungkin memihak, yaitu Brili dan adik sepupuku, Beryl, yang meskipun jarang ikut operasional masih punya suara cukup besar di RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham).
“Beryl, kamu tahu kalau kita terus seperti ini, perusahaan akan kehilangan pasar? Digitalisasi bukan pilihan, tapi kebutuhan,” kataku.
Ia mengangguk pelan, “Aku dukung, asal semua transparan.”
Di sisi lain, aku mengumpulkan data pembuktian.
Semua angka penjualan dari pabrik Surabaya yang sudah menerapkan sistem baru kususun rapi. Laporan itu menunjukkan peningkatan efisiensi 27% hanya dalam tiga bulan.
Aku sengaja mencantumkan data sebelum dan sesudah implementasi lengkap dengan analisis ROI (return of investment).
Kenapa ini penting? Karena dalam hukum di Indonesia, RUPS bisa memutuskan arah strategis perusahaan jika terbukti menguntungkan dan memenuhi prinsip GCG (Good Corporate Governance).
Ini berarti kalau aku bisa tunjukkan bukti nyata maka tak ada alasan hukum untuk menolak.
Namun, bukan hanya aku yang bergerak.
Bram mulai melakukan “kampanye” di internal menyebarkan narasi bahwa aku terlalu muda, belum paham risiko dan terlalu ambisius.
Bahkan ada rumor yang jelas dibuat-buat bahwa aku hanya ingin proyek ini untuk kepentingan pribadi.
Tapi, aku sudah siap.
Sebelum rumor itu membesar, aku mengirimkan memo internal kepada semua pemegang saham berisi ringkasan rencana digitalisasi dan manfaatnya bagi perusahaan.
Di bagian akhir, kutulis: “Keputusan ini akan dibawa secara terbuka dalam RUPS sesuai prinsip akuntabilitas dan transparansi. Semua pihak berhak mengetahui dan memutuskan.”
Hari RUPS semakin dekat.
Aku tahu, di ruangan itu nanti, bukan hanya argumen bisnis yang akan diuji. Tapi juga posisiku sebagai penerus generasi ke-3 di keluarga Brajantara.
Dan sekali saja aku lengah, semua bisa runtuh.
(Bersambung)