SEJAK rapat di rumah besar itu, suasana di kantor terasa tegang.
Bram jarang bicara padaku kecuali urusan formal.
Broto? Ia bahkan tak menatapku saat kami kebetulan bertemu di koridor.
Tapi di tengah jarak itu, aku mulai merasakan ada “gerakan bawah tanah” yang memihakku.
Suatu sore, Bima selaku manajer operasional yang sudah bekerja sejak zaman ayahku, mengetuk pintu ruanganku.
“Bu Brina, saya lihat sistem baru di Surabaya benar-benar membantu. Kalau Ibu mau, kita bisa pelan-pelan terapkan di unit Semarang. Tanpa ribut-ribut dulu.”
Aku tersenyum tipis. “Bima, kamu tahu risikonya? Kalau ketahuan, kita bisa dianggap melawan perintah founder.”
Bima menatapku serius. “Bu, saya sudah 25 tahun di sini. Perusahaan ini butuh orang yang berani ambil langkah. Kalau nunggu restu Pak Broto, kita bisa ketinggalan sepuluh tahun lagi.”
Dukungan juga datang dari Brili, satu-satunya tante yang selama ini sering dianggap “netral”.
Di sebuah acara makan malam keluarga, ia berbisik kepadaku.
“Brin, aku tahu kamu dimusuhi karena dianggap melawan arus. Tapi, justru kamu yang paling paham pasar sekarang. Jangan mundur. Kalau perlu, kita bawa ini ke forum pemegang saham.”
Itulah pertama kalinya aku mempertimbangkan jalur hukum perusahaan.
Menurut UU Perseroan Terbatas No. 40 Tahun 2007, keputusan strategis perusahaan seharusnya diambil melalui RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham), bukan oleh satu individu yang tidak punya jabatan resmi.
Artinya, kalau aku bisa kumpulkan dukungan 50%+1 suara pemegang saham, aku bisa mengesahkan digitalisasi tanpa restu Broto.
Tapi, langkah itu berisiko. Selain memicu konflik terbuka, aku tahu reputasiku akan dipertaruhkan di mata keluarga.
Bukan hanya sebagai “generasi ke-3 yang nekat”, tapi juga sebagai “orang yang berani melawan sang legenda”.
Malam itu, aku menatap layar laptop. Menghitung ulang porsi saham masing-masing anggota keluarga.
Perlahan, mulai terlihat gambaran siapa yang mungkin memihak, siapa yang harus diyakinkan, dan siapa yang pasti menentang.
Perang ini, kini berpindah dari ruang rapat ke arena hukum.
(Bersambung)