PAGI itu, teleponku berdering. Dari nomor rumah besar keluarga Brajantara.
Suara Bude Brili di seberang terdengar datar tapi tegas,
“Brina, Papa Broto minta kamu datang siang ini. Katanya ada hal penting yang harus dibicarakan.”
Aku bisa menebak ini tentang proyek digitalisasi pabrik di Surabaya. Berita keberhasilan kami rupanya sudah sampai. Pertanyaannya: dianggap prestasi atau pembangkangan?
Siang itu, aku melangkah masuk ke ruang tamu rumah besar Brajantara. Sebuah ruangan yang sudah menyaksikan puluhan rapat keluarga selama puluhan tahun.
Bram, Brili, dan Bruno sudah duduk. Wajah mereka campuran antara cemas dan menahan komentar.
Broto duduk di kursi kayu besar khas Jawa, tongkatnya di samping, sorot matanya tajam.
“Brina, kamu pikir kamu ini siapa, jalankan proyek tanpa bilang saya?” suaranya berat.
Aku menatap langsung. “Pak, saya sudah ajukan proposal resmi. Tapi memo itu berhenti di meja Paman Bram. Saya hanya ingin membuktikan bahwa ide ini bisa berhasil dan menguntungkan perusahaan.”
Bram menyela, “Bukan begitu cara kerja di Brajantara Group. Kita punya hierarki. Semua ide harus lewat Pak Broto. Titik.”
Aku menghela napas, mencoba tetap tenang.
“Pak, secara hukum, Bapak tidak lagi di jajaran direksi. Operasional sudah dipegang generasi kedua. Bukankah sekarang saatnya memberi ruang ke penerus?”
Ruang itu seketika sunyi. Kata-kataku jelas menusuk gengsi Broto.
Tapi, aku tak bisa menahannya karena selama ini masalahnya memang ada di sana. Founder yang masih memegang kendali mutlak meski tak lagi punya posisi formal.
“Hukum boleh bilang begitu, tapi ini perusahaan saya. Saya yang bangun dari nol. Saya tahu apa yang terbaik,” jawab Broto dingin.
Aku menatapnya tanpa berkedip.
“Pak, di Good Corporate Governance, kalau founder tetap jadi decision maker tanpa jabatan resmi, itu menciptakan konflik kepemimpinan. Bahkan, bisa melanggar prinsip transparansi dan akuntabilitas. Kita bisa kehilangan kepercayaan investor.”
Bram tertawa sinis. “Kamu pikir investor peduli? Mereka percaya karena nama besar Broto.”
Pertemuan itu berakhir tanpa kata sepakat. Tapi aku tahu satu hal: Hari ini aku bukan hanya melawan budaya lama di perusahaan, tapi juga ego generasi di atasku.
Dan perang ini… baru saja dimulai.
(Bersambung)