TOPMEDIA – Kasus megaskandal Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang melibatkan Bank Central Asia (BCA) kembali mencuat ke permukaan.
Komisi III DPR RI mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mengusut tuntas dugaan rekayasa dalam akuisisi 51% saham BCA oleh Djarum Grup di era Presiden Megawati Soekarnoputri.
Desakan ini didasari temuan Pansus DPD yang menunjukkan adanya potensi kerugian negara hingga triliunan rupiah.
Anggota Komisi III DPR, Abdullah (Abduh), menekankan bahwa KPK tidak boleh “tumpul” dalam kasus ini. Ia mendesak agar KPK segera memulai penyelidikan dan penyidikan.
Menurutnya, pengembalian uang negara dari kasus ini sangat penting untuk kesejahteraan rakyat, karena dananya dapat dialihkan ke sektor pembangunan.
Ekonom dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Sasmito Hadinegoro, pun mendesak Presiden Prabowo Subianto untuk mengambil langkah konkret dalam menyelamatkan uang negara.
Ia bahkan menyarankan agar pemerintah mengambil alih kembali 51% saham BCA tanpa pembayaran, mengingat adanya dugaan rekayasa dalam proses akuisisi.
“Pemerintah punya hak untuk mengambil kembali 51% saham BCA, tanpa harus bayar,” kata Sasmito.
Ia menjelaskan, pada Desember 2002, nilai saham BCA mencapai Rp117 triliun. Sementara bank tersebut masih memiliki utang kepada negara sebesar Rp60 triliun.
Menurut Sasmito, sudah banyak pihak yang menyuarakan pengusutan kembali kasus ini, dan kini saatnya pemerintah bertindak tegas.
Ia juga mendorong Presiden Prabowo membentuk tim khusus untuk membongkar dugaan mafia keuangan di balik megaskandal BLBI-BCA.
Kasus BLBI-BCA ini memiliki implikasi yang signifikan, baik dari sisi hukum maupun ekonomi. Secara hukum, temuan adanya dugaan rekayasa dalam akuisisi saham BCA membuka kemungkinan adanya tindak pidana korupsi.
Jika terbukti, ini bisa menjadi preseden penting dalam penegakan hukum di Indonesia, menunjukkan bahwa kasus-kasus lama yang merugikan negara tetap bisa diusut.
Desakan dari anggota legislatif dan akademisi seperti Sasmito Hadinegoro dari UGM menunjukkan bahwa ada pandangan kuat dari berbagai pihak yang mendorong pemerintah untuk bertindak.
Sasmito bahkan berpendapat bahwa secara hukum, pemerintah berhak untuk mengambil kembali 51% saham BCA tanpa pembayaran, jika terbukti ada kecurangan dalam proses akuisisi yang terjadi pada tahun 2002.
Dari sisi ekonomi, kasus ini adalah contoh nyata bagaimana skema bantuan saat krisis moneter dapat disalahgunakan dan merugikan negara dalam jangka panjang.
Potensi kerugian triliunan rupiah yang disebutkan Pansus DPD bukan hanya sekadar angka, melainkan dana yang seharusnya bisa digunakan untuk program-program pro-rakyat, seperti pembangunan infrastruktur, pendidikan, atau kesehatan.
Pengembalian aset negara dari kasus ini akan memberikan dampak positif yang besar. Dana tersebut dapat menopang APBN dan mengurangi beban utang negara. Lebih dari itu, langkah tegas dalam mengusut kasus ini dapat meningkatkan kepercayaan publik terhadap komitmen pemerintah dalam memberantas korupsi dan mafia keuangan.
Dorongan dari berbagai pihak, ditambah dengan komitmen Presiden Prabowo untuk memimpin langsung pemberantasan korupsi, memperkuat harapan bahwa kasus BLBI-BCA akan menemukan titik terang dan uang negara yang hilang dapat kembali ke kas negara. (*)