GUGATAN resmi terhadap Bram akhirnya diajukan. Perang keluarga ini kini memasuki babak hukum. Meski hatiku terasa berat, aku, Brina, tahu langkah ini perlu diambil jika ingin menyelamatkan bisnis keluarga.
Sidang pertama baru akan digelar pada minggu depan, tapi tekanan sudah terasa sejak sekarang.
Media lokal mulai mencium masalah ini. Para investor juga mendesak penjelasan resmi. Aku pun bekerja sama dengan Reno untuk mempersiapkan laporan audit independen yang membuktikan penyalahgunaan dana oleh Bram.
Di tengah kekacauan ini, Ayah memanggilku ke ruang kerjanya di rumah.
“Brina, duduklah. Ada hal yang harus kamu tahu,” katanya pelan.
Aku duduk, jantungku berdetak keras.
“Ayah merasa bersalah. Waktu muda, Ayah membangun bisnis ini dari nol bersama Ibu dan kakekmu. Tapi sejak awal, kakekmu selalu percaya bahwa anak laki-laki adalah pewaris utama. Karena itu, sejak dulu saham mayoritas diberikan ke Bram.”
Aku terdiam.
“Jadi… dari awal aku nggak pernah dianggap pewaris?” tanyaku lirih.
Ayah menatapku dengan mata berkaca-kaca.
“Itu kesalahan kami. Kami ikut tradisi lama, tanpa sadar mengabaikan kerja kerasmu. Kebenarannya, kamu yang menjaga bisnis ini tetap hidup. Tapi sekarang, dokumen waris itu yang membuat Bram merasa paling berhak.”
Kata-kata Ayah membuat dadaku sesak. Tiba-tiba semua sikap Bram terasa masuk akal. Ia merasa berkuasa bukan hanya karena ego, tapi karena warisan itu memang memberinya posisi dominan sejak dulu.
Keesokan harinya, Reno memanggilku ke kantornya.
“Brin, kita menemukan sesuatu saat menelusuri aset lama keluarga,” katanya sambil menunjukkan dokumen.
“Ini sertifikat tanah dan pabrik lama yang dibeli atas nama Bram sepuluh tahun lalu. Tapi, pakai dana perusahaan. Artinya, secara hukum itu bukan hak pribadi, melainkan aset perusahaan yang disamarkan.”
Aku membeku.
“Kalau ini terbukti, dia bisa dikenai tuntutan pidana, kan?”
Reno mengangguk.
“Ya. Ini akan jadi kartu truf kita di pengadilan. Tapi bersiaplah, Bram pasti akan semakin ganas begitu tahu kita menemukan ini.”
Malamnya, aku menerima telepon tak terduga dari Rani, adik bungsuku.
“Mbak, Mas Bram marah besar. Dia bilang dia nggak akan biarin Mbak ambil apa pun dari perusahaan. Bahkan dia ancam mau bongkar rahasia keluarga kalau Mbak lanjut.”
Aku menarik napas dalam.
“Rahasia apa lagi?”
“Katanya tentang utang lama keluarga kita ke salah satu partner bisnis yang bisa bikin nama kita hancur kalau keluar ke media.”
Kakiku melemas. Ternyata perang ini bukan hanya soal saham, tapi juga masa lalu keluarga yang bisa jadi senjata.
Aku menatap langit malam dari jendela kamarku.
Bisnis keluarga yang kubela mati-matian ini ternyata menyimpan lebih banyak rahasia daripada yang kubayangkan.
Dan untuk pertama kalinya, aku bertanya pada diriku sendiri:
Apakah aku siap membayar harga untuk memenangkan perang ini?
(Bersambung)