TOPMEDIA – Suasana tenang di kawasan elit Jalan Metro Tanjung Bunga, Makassar, mendadak berubah menjadi tegang. Di atas lahan luas lebih dari 164 ribu meter persegi, dua nama besar kini saling berhadapan: PT Hadji Kalla dan PT Gowa Makassar Tourism Development (GMTD) Tbk.
Di balik sengketa itu, terselip sosok yang namanya tak asing di panggung nasional, Jusuf Kalla. Mantan Wakil Presiden RI dua periode itu tak bisa menutupi amarahnya ketika mengetahui lahan milik perusahaannya diklaim pihak lain.
Ia bahkan turun langsung ke lokasi, berdiri di tengah tanah yang kini jadi rebutan, dan dengan suara lantang menyebut adanya “mafia tanah” yang mencoba bermain di balik konflik ini.
Lahan Lama yang Dipertahankan
Bagi Jusuf Kalla, lahan itu bukan sekadar properti bernilai tinggi di kawasan premium Makassar. Itu bagian dari perjalanan panjang PT Hadji Kalla, perusahaan keluarga yang berdiri sejak tahun 1952 dan menjadi salah satu ikon bisnis di Indonesia Timur.
Kuasa hukumnya, Azis Tika, menegaskan bahwa lahan tersebut dikelola dengan prinsip tata kelola perusahaan yang baik dan telah memiliki dokumen hukum sah. Sertifikat tanah diterbitkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) Makassar sejak 8 Juli 1996, jauh sebelum kawasan itu berkembang menjadi area bisnis dan hunian modern seperti sekarang. “Semua alas hak lengkap dan memiliki kekuatan hukum penuh,” tegas Azis.
Ia merinci empat bidang tanah bersertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) atas nama PT Hadji Kalla:
-
HGB No. 695/Maccini Sombala — 41.521 m²
-
HGB No. 696/Maccini Sombala — 38.549 m²
-
HGB No. 697/Maccini Sombala — 14.565 m²
-
HGB No. 698/Maccini Sombala — 40.290 m²
Benturan Dua Nama Besar
Sengketa ini menjadi menarik karena bukan hanya persoalan kepemilikan tanah, tapi juga pertarungan reputasi dua perusahaan besar yang sama-sama punya pengaruh kuat di Makassar.
Bagi publik, kemarahan JK bukan sekadar luapan emosi seorang pengusaha senior, melainkan sinyal keras tentang praktik penguasaan lahan yang kerap menimbulkan ketidakadilan.
Apalagi, sosok Jusuf Kalla dikenal berhati-hati dalam menjaga nama baik dan tata kelola perusahaannya. Itulah mengapa, begitu mendengar lahan yang sudah dikelola selama puluhan tahun diklaim pihak lain, amarahnya langsung meledak.
Lebih dari Sekadar Sengketa
Di luar nilai ekonominya, kasus ini membuka perbincangan lebih luas tentang tata kelola tanah di Indonesia, terutama di kawasan strategis seperti Tanjung Bunga yang kini berkembang menjadi area bisnis dan wisata.
Bagi Jusuf Kalla, mempertahankan lahan ini bukan hanya soal aset perusahaan, tapi juga tentang menjaga marwah hukum dan keadilan. Ia menegaskan bahwa kebenaran mesti ditegakkan, berapa pun luas tanah yang diperebutkan.
Dan bagi warga Makassar, kasus ini bukan sekadar konflik dua perusahaan besar, tapi cermin dari persoalan lama yang terus berulang: siapa sebenarnya yang berhak atas tanah di negeri sendiri? (*)



















