TOPMEDIA – Di tengah gelombang protes dan tuntutan pembubaran parlemen, sorotan publik terhadap Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) semakin tajam. Salah satu suara yang paling lantang datang dari mantan anggota dewan yang pernah berada di balik jeruji besi, Angelina Sondakh. Secara blak-blakan, ia mengungkap sisi gelap dan kebobrokan lembaga legislatif di masa kekuasaannya, membongkar adanya permainan kekuasaan dan kepentingan.
Pengakuan ini disampaikan oleh Angelina dalam sebuah acara bincang-bincang. Saat ditanya oleh pembawa acara, Feni Rose, tentang alasannya dulu menyebut DPR “sangat kotor”, Angelina menghela napas panjang sebelum menjawab.
“Kotornya seperti apa sih, kenapa kamu menyebutnya sangat kotor?” tanya Feni Rose, menatap Angelina lekat-lekat.
Angelina terdiam sejenak, wajahnya menunjukkan refleksi mendalam. “Ini saya bicara tentang di zaman saya, ya. Mungkin juga di lingkungan saya saja. Karena DPR itu kan terbagi-bagi, seperti di sekolah,” ia memulai, suaranya pelan tapi tegas.
“Ada yang elit, ada yang jadi pengambil keputusan, ada yang hanya menggodok. Yang pernah ada di sana pasti mengerti lah,” sambungnya.
“It’s about games”
Mantan anggota dewan dari Fraksi Partai Demokrat ini kemudian menjelaskan bahwa budaya politik di DPR diwarnai oleh intrik dan kepentingan yang membuat banyak orang lupa akan fungsi utama mereka sebagai wakil rakyat. Ia menyebut, lembaga ini penuh dengan “permainan kekuasaan”.
“Oh, it’s about games. Ini semua tentang akrobatiknya orang,” kata Angelina dengan nada getir. “Aku baru sadar sepenuhnya ketika harus masuk penjara. Dari sana, aku bisa melihat dari ‘helikopter view‘. Barulah aku sadar, ‘Ya Allah, berarti dulu aku di-beginiin… Oh, ini toh ada setting-an.’”
Ia melanjutkan, “Idealismenya seharusnya untuk rakyat, tapi di zaman saya, yang saya lihat kok jadi kepentingan segelintir orang dan segelintir kelompok saja. Ini sistem yang sudah ada dan menjadi budaya.”
Uang dan Jabatan, Sebuah Candu
Angelina juga berbagi pengalamannya tentang bagaimana ia bisa terjerumus ke dalam lingkaran korupsi yang akhirnya membawanya ke penjara selama 10 tahun. Ia menyinggung soal uang dan jabatan yang bisa menjadi candu.
“Ada candu, ada ketagihan,” Angelina bercerita, matanya menerawang. “Semakin banyak orang memberimu respek, kita jadi kayak, ‘aku butuh lebih, aku butuh lebih.’ Dari yang awalnya cuma anggota, terus aku jadi ketua, terus jadi wakil sekjen.”
Ia menyimpulkan bahwa perjuangan mental dari seorang pejabat publik sangat bergantung pada dirinya sendiri. “Aku dulu sangat tidak kuat. Namanya juga masih 27 tahun, masih punya banyak mimpi dan ambisi, akhirnya kehilangan kepekaan, kehilangan empati terhadap rakyat.”
Angelina mengakhiri pengakuannya dengan sebuah refleksi, menekankan bahwa ini adalah pandangan pribadinya, cermin dari pengalamannya. Namun, bagi publik yang kini merasa gerah dengan tingkah laku wakil rakyat, kesaksian Angelina Sondakh ini seolah menjadi konfirmasi atas dugaan mereka selama ini. (*)