TOPMEDIA – Salsa Erwina Hutagalung, influencer dan diaspora Indonesia yang kini menetap di Aarhus, Denmark, menjadi sorotan publik setelah secara terbuka menantang Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Ahmad Sahroni, untuk debat tentang besaran tunjangan anggota DPR.
Salsa, lulusan UGM dengan prestasi juara debat se–Asia Pasifik, mengunggah video di media sosial yang menyoroti disparitas antara besaran tunjangan puluhan juta rupiah per bulan dan kondisi ekonomi masyarakat.
Aksi ini memicu respons Sahroni yang memilih tidak meladeni tantangan tersebut, dengan menyatakan dirinya “masih bloon” dan “mau bertapa dulu biar pinter” saat menanggapi ajakan debat tersebut.
Salsa Erwina Hutagalung adalah influencer dan content creator asal Indonesia yang kini menetap di Aarhus, Denmark.
Ia dikenal luas lewat podcast “Jadi Dewasa 101”, di mana ia membahas topik pengembangan diri, manajemen keuangan, dan tekanan sosial generasi muda.
Salsa menempuh pendidikan di Universitas Gadjah Mada (UGM) dan tercatat sebagai mahasiswa berprestasi pada 2014. Di dunia debat internasional, ia pernah mewakili Indonesia di World Debating Championship di Berlin 2012 hingga babak perempat final, serta meraih juara lomba debat se–Asia Pasifik di Nanyang Technological University, Singapura pada 2014.
Selain aktif di ranah edukasi digital, Salsa bekerja sebagai Strategy Manager di Vestas, perusahaan energi terbarukan terkemuka di Denmark.
Keberaniannya menantang Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Ahmad Sahroni, untuk debat soal tunjangan DPR membuat namanya semakin melambung di media sosial.
Akibat keberanian Salsa Erwina menantang debat terbuka soal tunjangan dan kinerja DPR Ahmad Sahroni, dia menjadi korban doxing.
Setelah video kritiknya viral di media sosial, sejumlah akun mulai menyebarkan data pribadi Salsa secara ilegal.
Informasi seperti nama lengkap, NIK, alamat rumah keluarganya di Pamulang, hingga latar belakang keluarganya dibagikan ke publik tanpa izin.
Bahkan, ia dituduh sebagai “aktor perusak negara dari luar negeri” oleh pihak-pihak yang tidak setuju dengan kritiknya.
Akibat doxing tersebut, keluarga Salsa di Indonesia ikut terdampak. Rumah keluarganya dijaga oleh warga setempat untuk mencegah gangguan, dan ibunya yang sudah lanjut usia diminta tidak diganggu demi menjaga kesehatan.
Peneliti senior Pusat Riset Politik BRIN, Lili Romli, mengecam keras tindakan tersebut. Ia menegaskan bahwa kritik terhadap pejabat publik adalah hak konstitusional warga negara, dan serangan balik berupa penyebaran data pribadi serta intimidasi terhadap keluarga adalah bentuk pelanggaran demokrasi.
Dari sisi hukum, tindakan doxing melanggar Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU No. 27 Tahun 2022). Pasal 65 UU PDP menyatakan bahwa pelaku penyebaran data pribadi tanpa izin dapat dipidana hingga 5 tahun penjara atau dikenai denda maksimal Rp 5 miliar.
Kasus ini menjadi pengingat penting bahwa ruang digital harus tetap aman bagi warga yang menyampaikan kritik, dan bahwa perlindungan terhadap data pribadi bukan sekadar isu teknis, melainkan bagian dari menjaga demokrasi yang sehat.
Langkah berani Salsa Erwina Hutagalung menunjukkan peran aktif diaspora dalam mengawal transparansi dan akuntabilitas lembaga legislatif.
Tantangan debat soal tunjangan DPR bukan sekadar adu argumen, tetapi juga cermin kian tingginya harapan publik akan keterbukaan anggaran negara.
Momen ini membuka ruang diskusi lebih kritis bagi masyarakat—baik di dalam maupun luar negeri untuk menuntut wakil rakyat menjalankan fungsi pengawasan dan legislasi dengan bijaksana. (*)