TOPMEDIA – Pasar otomotif Indonesia sepanjang tahun 2025 menghadapi tantangan serius. Di tengah pertumbuhan pasar yang belum maksimal, industri komponen lokal kini terancam oleh serbuan mobil impor dalam status utuh atau Completely Built Up (CBU).
Menurut Sekretaris Umum Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), Kukuh Kumara, dampak dari masuknya mobil-mobil CBU ini sudah mulai terasa. Secara khusus, tren meningkatnya impor Battery Electric Vehicle (BEV) atau mobil listrik utuh menjadi sorotan utama.
Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran karena berpotensi menekan keberlangsungan industri komponen dalam negeri. Padahal, industri ini memegang peranan penting dalam menciptakan lapangan kerja dan mendukung ekosistem manufaktur nasional. Tanpa adanya kebijakan yang tepat, serbuan mobil impor CBU ini dikhawatirkan akan menghambat pertumbuhan dan inovasi yang telah dibangun oleh para pelaku industri komponen lokal. “Kaitannya dengan kandungan lokal tinggi itu tertekan, volume menurun, sementara muncul kendaraan listrik muncul, TKDN rendah, volume meningkat. Ini yang akan mengganggu keseimbangan industri dalam negeri kita,” katanya di kantor Kementerian Perindustrian, Jakarta awal pekan ini.
Angka impor mobil CBU tahun 2025 mengalami peningkatan pesat, terutama sejak relaksasi kebijakan mendatangkan unit secara langsung dari luar negeri khusus untuk kendaraan listrik murni roda empat atau lebih yang sedang bergulir.
Data Gaikindo year-on-year (YoY) Juli 2025 mengalami pertumbuhan 45 persen dengan angka 76.755 unit. Jauh signifikan dibanding pada bulan yang sama tahun sebelumnya hanya 10.358 unit untuk semua jenis dan model kendaraan.
Menjadikan Juli sebagai bulan dengan angka impor terbanyak tahun ini. Lebih-lebih pada periode Januari-Juli 2025 pun penyalurannya juga lebih banyak menjadi 76.755 unit, melambung 50 persen dari periode serupa tahun lalu yang totalnya 50.932 unit.
“Sampai Juli 2025, itu market share BEV sudah 10 persen, 9,7 atau 9,8 persen tepatnya. Ini dampaknya, jadi kandungan lokal ini berperan banyak untuk industri kendaraan bermotor kita. Karena ada tier 1 dan tier 2, dan seterusnya. Pembuat komponen ini banyak sekali,” tambah Kukuh.
Kukuh menjelaskan, impor CBU jenis BEV tercatat sudah alami kenaikan sebesar 17 persen untuk segmen menengah sepanjang tahun 2024 saja. Namun satu sisi, ia mengutarakan soal tekanan yang diterima kendaraan produksi lokal.
“Kendaraan listrik itu semakin banyak namun ini menekan kendaraan-kendaraan yang sudah diproduksi dalam negeri. Sementara kendaraan yang sudah diproduksi dalam negeri itu adalah kendaraan TKDN tinggi, berkisar 80-90 persen,” terangnya.
“Kami mendapat banyak pertanyaan, walaupun ini bukan lingkupnya Gaikindo, karena komponen. Perusahaan mengeluhkan, kalau terus-terusan volume-nya seperti ini. Kita berat karena supply semakin menurun,” jelas Kukuh.
Catatan Gaikindo dan GIIAM (Gabungan Industri Alat-alat Mobil dan Motor merekam setidaknya ada 22 produsen OEM (Original Equipment Manufacturer), 550 pemasok tingkat atau tier 1, 1.000 pemasok tier 2 dan 3, termasuk usaha kecil dan menengah (UMKM).
Industri otomotif sendiri merupakan salah satu pilar ekonomi negara dengan melibatkan sekitar 1,5 juta tenaga kerja yang tersebar di berbagai kelas perusahaan. Kapasitas produksi tahunan mampu mencapai 1,2 juta unit pada 2024, terbesar ke-2 di ASEAN.
Kebijakan impor utuh mobil listrik tertuang pada Peraturan Menteri Investasi Nomor 6 Tahun 2024 Juncto Nomor 1 Tahun 2024 yang mengatur pemberian relaksasi untuk mendatangkan BEV secara utuh dari luar negeri tanpa dikenakan bea masuk.
Kebijakan tersebut bakal terus berjalan hingga Desember 2025 mendatang. Selain biaya bea masuk nol persen, BEV CBU juga tidak diganjar biaya Penjualan atas Barang Mewah atau PPnBM seharusnya dikenakan sebesar 15 persen.
Tujuan awal diterbitkannya kebijakan tersebut dimaksudkan untuk percepatan penyerapan kendaraan elektrifikasi jenis BEV di pasar otomotif nasional. Pelaku industri yang menikmatinya diwajibkan memiliki komitmen timbal balik berupa produksi sejumlah 1:1.
Artinya, setiap satu unit kendaraan impor yang telah terjual hingga 31 Desember 2025 sejak masa menerima insentif, wajib digantikan dengan total penjualan unit CKD (Completely Knocked Down) yang sama, terhitung dari 1 Januari 2026 sampai 31 Desember 2027. (*)