TOPMEDIA – Pertanyaan “kapan nikah?” ternyata bisa berimplikasi hukum jika dianggap sebagai bentuk perundungan. Pertanyaan sederhana seperti “kapan nikah?” yang kerap dilontarkan oleh kerabat, teman, atau saudara ternyata dapat menimbulkan konsekuensi hukum.
Jika pertanyaan tersebut disampaikan dengan maksud merendahkan atau mem-bully, maka bisa dikategorikan sebagai tindak pidana.
Fenomena ini mencuat setelah seorang warganet di media sosial mengingatkan bahwa ungkapan “kapan nikah” dapat membuat seseorang terancam pidana.
Hal ini kemudian dikonfirmasi oleh pakar hukum pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, yang menegaskan adanya potensi jeratan hukum jika pertanyaan tersebut digunakan untuk perundungan.
Dasar Hukum dan Potensi Jeratan Pidana
Menurut Fickar, tindak pidana dapat terjadi apabila pertanyaan “kapan nikah” sengaja digunakan untuk mempermalukan atau menekan seseorang yang belum menikah.
“Bisa jadi, jika ungkapan ini sengaja dikemukakan untuk membully orang atau mereka yang sudah berusia tapi belum berkeluarga,” ujarnya, Rabu (12/11).
Dasar hukum yang dapat menjerat antara lain:
– Pasal 310 KUHP tentang tindak pidana penghinaan, dengan ancaman pidana penjara paling lama sembilan bulan atau denda hingga Rp4.500.
– Pasal 10 UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, yang mengatur pemaksaan perkawinan dengan ancaman pidana penjara hingga sembilan tahun dan/atau denda maksimal Rp200 juta.
Pertanyaan yang terdengar sepele ini bisa menyinggung perasaan, merugikan secara psikis, dan bahkan berpotensi menjadi masalah hukum jika dilakukan berulang atau dengan intensi merendahkan.
“Pertanyaan kapan nikah memang sering dianggap bercanda, tetapi jika digunakan untuk menekan atau mempermalukan orang lain, itu bisa masuk kategori perundungan. Hukum pidana bisa berlaku jika ada unsur kesengajaan,” tegas Abdul Fickar.
Kasus ini menjadi pengingat bahwa menjaga etika komunikasi sangat penting dalam kehidupan sosial. Pertanyaan “kapan nikah” sebaiknya dihindari jika berpotensi menyinggung atau merugikan orang lain.
“Hargai privasi orang lain, karena tidak semua pertanyaan layak untuk diucapkan,” tutup Fickar.
Dengan demikian, masyarakat diimbau lebih bijak dan peka sebelum berbicara agar tidak menimbulkan masalah hukum maupun psikologis. (*)



















