HARI itu ruang sidang penuh sesak. Semua anggota keluarga hadir, bahkan beberapa kerabat jauh ikut datang karena penasaran.
Wartawan berdesakan di luar, kamera menyorot setiap langkah kami. Rasanya seperti semua mata di kota ini sedang menatap keluarga Brajantara.
Aku duduk di samping Mama, menggenggam tangannya erat. Papa duduk agak ke depan, wajahnya dingin tapi jelas gugup.
Di seberang, Lestari tampak percaya diri dengan anak laki-lakinya duduk di sampingnya. Kuasa hukumnya tersenyum, seolah kemenangan sudah di tangan.
Hakim membuka berkas tebal hasil laboratorium. Ruangan mendadak hening, bahkan suara napas terasa begitu jelas.
“Berdasarkan pemeriksaan DNA yang dilakukan oleh laboratorium forensik independen,” ucap hakim perlahan, “dinyatakan bahwa anak yang diajukan Penggugat bukan anak kandung dari Tergugat.”
Sejenak semua orang terdiam. Lestari menutup mulutnya, wajahnya pucat.
Suara gemuruh langsung terdengar di ruangan. Mama menutup wajahnya sambil menangis lega, Bram langsung meremas meja, Bruno menghela napas panjang, sementara aku hanya bisa meneteskan air mata kebahagiaan.
Papa menunduk, mungkin antara lega sekaligus malu. Selama berminggu-minggu, kami diguncang oleh tuduhan dan gosip yang hampir menghancurkan segalanya.
Dan kini, kebenaran akhirnya terungkap. Semua ini hanya kebohongan yang dibungkus rapi oleh ambisi seorang wanita.
Di luar ruang sidang, wartawan menodongkan mikrofon, “Apakah benar anak itu bukan keturunan sah?”
Bram menjawab singkat tapi tegas, “Putusan sudah jelas. Keluarga kami difitnah. Sekarang kami fokus membangun kembali perusahaan.”
Hari itu aku sadar, badai besar yang hampir menghancurkan keluarga kami perlahan mulai mereda. Tapi luka yang ditinggalkan tetap ada.
Kepercayaan publik harus dipulihkan, hubungan keluarga harus diperbaiki. Dan yang paling penting, kami belajar betapa rapuhnya bisnis keluarga ketika masalah pribadi menyeretnya ke ranah hukum.
(Bersambung)