TOPMEDIA – Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) resmi mengesahkan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) menjadi Undang-Undang.
Pengesahan dilakukan dalam Rapat Paripurna ke-8 Masa Persidangan II Tahun Sidang 2025-2026 di Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (18/11/2025).
Rapat Paripurna dipimpin langsung oleh Ketua DPR RI Puan Maharani bersama seluruh Wakil Ketua DPR RI. Sebelum pengesahan, Ketua Komisi III DPR RI Habiburokhman menyampaikan laporan pembahasan RKUHAP.
Ia menegaskan bahwa penyusunan KUHAP dilakukan dengan prinsip meaningful participation atau partisipasi bermakna.
“Sejak Februari 2025, Komisi III DPR RI telah mengunggah naskah RUU KUHAP ke laman www.dpr.go.id dan melakukan pembahasan secara terbuka,” ujar Habiburokhman.
Komisi III juga melaksanakan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan 130 pihak, termasuk masyarakat, akademisi, advokat, dan elemen penegak hukum. Selain itu, kunjungan kerja dilakukan ke berbagai daerah seperti Jawa Barat, Yogyakarta, Kepulauan Riau, Sumatera Utara, Sulawesi Utara, hingga Nusa Tenggara Barat.
“Kami menerima masukan tertulis dari masyarakat dalam kurun waktu empat bulan sejak 8 Juli 2025. Semua masukan menjadi bagian penting dalam penyusunan KUHAP baru ini,” tambah Habiburokhman.
RUU KUHAP yang disahkan memuat 14 substansi utama, yakni:
1. Penyesuaian hukum acara pidana dengan perkembangan hukum nasional dan internasional.
2. Penyesuaian pengaturan hukum acara pidana dengan nilai-nilai KUHP baru yang menekankan orientasi restoratif, rehabilitatif, dan restitutif guna mewujudkan pemulihan keadilan substansi dan hubungan sosial antara pelaku, korban, dan masyarakat.
3. Penegasan prinsip diferensiasi fungsional dalam sistem peradilan pidana, yaitu pembagian peran yang proporsional antara penyidik, penuntut umum, hakim, advokat, dan pemimpin kemasyarakatan.
4. Perbaikan pengaturan mengenai kewenangan penyelidik, penyidik, dan penuntut umum serta penguatan koordinasi antarlembaga untuk meningkatkan efektivitas dan akuntabilitas sistem peradilan pidana.
5. Penguatan hak-hak tersangka, terdakwa, korban, dan saksi, termasuk hak atas bantuan hukum, peradilan yang adil, dan perlindungan terhadap ancaman atau kekerasan.
6. Penguatan peran advokat sebagai bagian integral sistem peradilan pidana, termasuk kewajiban pendampingan dan pemberian bantuan hukum cuma-cuma oleh negara.
7. Pengaturan mekanisme keadilan restoratif (restorative justice) sebagai alternatif penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan.
8. Perlindungan khusus terhadap kelompok rentan, termasuk penyandang disabilitas, perempuan, anak, dan lanjut usia, disertai kewajiban aparat untuk melakukan asesmen dan menyediakan sarana pemeriksaan yang ramah.
9. Penguatan perlindungan penyandang disabilitas dalam setiap tahap pemeriksaan.
10. Perbaikan pengaturan tentang upaya paksa dengan memperkuat perlindungan HAM dan asas due process of law, termasuk pembatasan waktu dan kontrol yudisial oleh pengadilan.
11. Pengenalan mekanisme hukum baru, seperti pengakuan bersalah bagi terdakwa yang kooperatif dengan imbalan keringanan hukuman serta perjanjian penundaan penuntutan bagi pelaku korporasi.
12. Pengaturan prinsip pertanggungjawaban pidana korporasi.
13. Pengaturan hak kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi sebagai hak korban dan pihak yang dirugikan akibat kesalahan prosedur penegakan hukum.
14. Modernisasi hukum acara pidana untuk mewujudkan peradilan yang cepat, sederhana, transparan, dan akuntabel.
Ketua DPR RI Puan Maharani menegaskan pentingnya pengesahan KUHAP baru sebagai langkah reformasi hukum acara pidana.
“Dengan pengesahan ini, kita berharap sistem peradilan pidana di Indonesia semakin adil, transparan, dan berpihak pada perlindungan hak asasi manusia,” ujarnya.
Pengesahan RUU KUHAP menjadi Undang-Undang menandai tonggak penting dalam reformasi hukum acara pidana di Indonesia.
Dengan 14 substansi utama yang menekankan keadilan restoratif, perlindungan HAM, dan modernisasi sistem peradilan, DPR RI berharap regulasi baru ini mampu menjawab tantangan hukum nasional sekaligus memenuhi standar internasional. (*)



















