SIDANG perdana dimulai di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Aula penuh sesak oleh wartawan, pengamat hukum, dan publik yang haus sensasi.
Di meja depan, Broto duduk dengan wajah pucat, mengenakan kemeja putih yang tampak kebesaran di tubuhnya yang semakin kurus.
Papa duduk di kursi pengunjung, memandangi anak bungsunya dengan mata kosong.
Sementara Mama berusaha menahan air mata di belakang barisan. Bram dan Bruno berdiri di sisi lain dengan wajah tegang dan kaku.
Jaksa membacakan dakwaan dengan suara lantang: “Terdakwa diduga telah menggunakan dana perusahaan Brajantara Group untuk kepentingan pribadi melalui aktivitas investasi aset digital, melanggar ketentuan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.”
Setiap kalimat terasa seperti palu yang menghantam. Aku, Brina, duduk di deretan belakang sambil menunduk dengan tangan bergetar.
Di layar proyektor ruang sidang, ditampilkan grafik aliran dana dari rekening perusahaan ke wallet crypto atas nama Broto. Tidak ada lagi yang bisa disangkal.
Di luar gedung pengadilan, wartawan berkerumun. Mikrofon mengarah ke Papa.
“Pak Brajantara, apakah benar perusahaan Anda terlibat dalam praktik pencucian uang digital?”
Papa hanya menjawab singkat, “Kami akan menghormati proses hukum.”
Namun wajahnya jelas menunjukkan luka yang dalam, bukan hanya karena kasus ini, tapi karena anaknya sendiri yang menyebabkan semuanya.
Malamnya, di rumah yang kini terasa dingin dan asing, perdebatan kembali pecah. Bram menatap Papa dengan nada tegas.
“Pa, kita harus pisahkan urusan hukum Broto dari perusahaan. Kalau tidak, semua aset keluarga bisa ikut disita.”
Mama langsung memprotes. “Dia adikmu, Bram! Jangan korbankan adikmu sendiri!
Bram menghela napas berat. “Aku tidak ingin mengorbankan siapa pun, Ma. Tapi kalau kita tutupi, hukum akan menganggap kita semua terlibat.”
Papa berdiri pelan, suaranya parau. “Aku tidak akan menyerahkan anakku, tapi aku juga tidak akan menutup mata. Kalian lakukan apa yang harus dilakukan. Aku sudah terlalu tua untuk mengerti dunia kalian yang serba digital dan cepat ini.”
Di luar, hujan turun deras. Aku menatap keluar jendela, melihat bayangan rumah besar yang dulu penuh cahaya kini remang dan suram.
Dunia digital yang dulu kami banggakan kini menjadi penjara bagi kami sendiri.
Aku bergumam pelan. “Kadang, keluarga tidak hancur karena musuh dari luar, tapi karena cinta yang buta di dalam.” (*)
(Bersambung ke Series 7: Sidang putusan, akhir nasib Broto, kejatuhan bisnis keluarga Brajantara, serta hikmah hukum dan moral di balik kehancuran)