Scroll untuk baca artikel
Bonek Bule
TOP SAGU
TOP SAGU
TOP MEDIA
FAMILY BUSINESSES

Cyber Greed, Hancurnya Bisnis Keluarga di Era Digital (1): Transformasi yang Menggoda

22
×

Cyber Greed, Hancurnya Bisnis Keluarga di Era Digital (1): Transformasi yang Menggoda

Sebarkan artikel ini
toplegal

BRAJANTARA Group dulu dikenal sebagai perusahaan retail bahan bangunan yang konvensional. Papa memulai bisnis itu tiga puluh tahun lalu, dari toko kecil di pinggir jalan hingga kini punya puluhan cabang di berbagai kota.

Namun, dunia berubah cepat. Setelah pandemi, pelanggan mulai beralih ke belanja online. Penjualan toko fisik turun drastis.

HALAL BERKAH

Suatu malam di ruang makan, kami berkumpul. Bram, anak sulung, membuka pembicaraan dengan semangat.

“Pa, kalau kita mau bertahan, kita harus digital. Sekarang semua orang belanja lewat aplikasi. Kita bisa buat e-commerce sendiri: Brajantara Digital Store.”

Papa menatapnya ragu. “Toko online itu ribet. Bapak lebih percaya transaksi nyata. Orang datang, lihat barang, bayar di tempat. Itu bisnis.”

Baca Juga:  Keserakahan Kakak Hancurkan Bisnis Keluarga 30 Tahun (3): Bukti yang Membuka Topeng

Bruno menimpali, “Tapi zaman sudah berubah, Pa. Kalau kita tetap begini, kita bisa kalah. Lihat pesaing kita, mereka sudah jualan lewat marketplace.”

Akhirnya, setelah banyak perdebatan, Papa menyerah. “Baiklah. Kalau memang itu jalan kalian, jalankan. Tapi jangan main-main dengan uang.”

Dalam waktu tiga bulan, sistem e-commerce Brajantara resmi diluncurkan.

Broto, anak bungsu yang jago teknologi, dipercaya mengelola platform. Ia membuat website, sistem pembayaran, dan koneksi ke marketplace besar. Penjualan melonjak tajam. Semua tampak sempurna.

Mama bahkan mulai bangga, sering memamerkan dashboard penjualan kepada teman-temannya. “Lihat, keluarga kami sudah go digital!” katanya sambil tertawa. Papa pun tersenyum puas, seolah semua kekhawatiran hilang.

Baca Juga:  Kutukan Generasi ke-3, Pertarungan Kepemimpinan di Perusahaan Keluarga (3): Pemanggilan ke Rumah Besar

Namun di balik layar, aku, Brina, melihat sesuatu yang janggal. Laporan keuangan digital yang dikirim Broto setiap bulan tidak pernah cocok dengan saldo rekening perusahaan. Ada selisih yang terus bertambah, kadang mencapai ratusan juta rupiah.

Ketika aku tanya Broto, ia hanya menjawab santai, “Itu cuma pendingan transaksi, Kak. Uang belum cair dari payment gateway.” Tapi entah kenapa, kata-katanya tidak meyakinkan.

Aku belum tahu saat itu, bahwa di balik gemerlap dunia digital yang menjanjikan, ada lubang gelap yang siap menelan bisnis keluarga kami hidup-hidup. (*)

(Bersambung ke Series 2: Arus uang tak terpantau, sistem digital mulai jadi celah, dan rahasia Broto perlahan terbuka)

 

TEMANISHA.COM