TOPMEDIA – Mulai 25 Oktober 2025, pemerintah China memberlakukan aturan baru yang mewajibkan para influencer memiliki sertifikat atau bukti kualifikasi resmi sebelum membuat konten tentang topik sensitif seperti kesehatan, hukum, keuangan, dan pendidikan.
Kreator yang ingin membahas bidang-bidang tersebut kini harus menunjukkan ijazah, lisensi, atau sertifikat ahli yang relevan terlebih dahulu. Kebijakan ini, seperti dilaporkan CNBC TV18 pada Selasa (28/10/2025), bertujuan untuk menekan penyebaran informasi yang salah di internet. Namun, langkah ini juga menimbulkan kekhawatiran akan potensi penyensoran di dunia digital.
Cegah Konten Menyesatkan dan Promosi Terselubung
Administrasi Ruang Siber China (CAC) menjelaskan bahwa aturan ini dibuat untuk melindungi masyarakat dari konten menyesatkan dan saran yang bisa merugikan publik. Tak hanya influencer, platform seperti Weibo, Bilibili, dan Douyin (versi China dari TikTok) juga diwajibkan memverifikasi keahlian para kreator serta memastikan sumber informasi dan disclaimer yang jelas dalam setiap unggahan.
Kreator kini juga harus mencantumkan jika konten mereka menggunakan kecerdasan buatan (AI) atau mengutip hasil penelitian tertentu. Selain itu, CAC melarang promosi terselubung untuk produk kesehatan, seperti obat, suplemen, atau makanan kesehatan, yang dikemas seolah-olah sebagai konten edukatif. Pemerintah menilai kebijakan ini penting untuk meningkatkan kepercayaan publik dan kualitas informasi di dunia digital.
Menuai Pro dan Kontra
Meski dinilai positif oleh sebagian pihak, kebijakan ini juga memicu perdebatan. Sebagian pengguna internet mendukung aturan tersebut karena dianggap bisa memperbaiki kualitas informasi di media sosial dan memastikan hanya orang yang benar-benar ahli yang berbicara di bidang tertentu.
“Sudah saatnya para ahli yang benar-benar paham memimpin percakapan,” tulis seorang pengguna Weibo.
Namun, tidak sedikit yang menganggap aturan ini berpotensi membatasi kebebasan berekspresi dan membungkam suara independen. “Sekarang kami seperti perlu izin untuk punya opini,” keluh seorang kreator asal Beijing.
Kritikus menilai definisi “ahli” dalam aturan ini masih terlalu kabur, sehingga membuka peluang bagi pemerintah untuk menentukan siapa yang berhak berbicara di ruang publik.
Antara Regulasi dan Kebebasan Berpendapat
Perdebatan ini mencerminkan dilema besar antara keinginan untuk melawan misinformasi dan menjaga kebebasan berekspresi. Isu tersebut muncul di tengah meningkatnya pengaruh budaya influencer di seluruh dunia.
Riset dari University of Portsmouth menunjukkan bahwa konten dari influencer dapat menimbulkan dampak negatif, seperti tekanan psikologis, masalah kesehatan, dan penyebaran standar hidup yang tidak realistis. Meski begitu, industri influencer marketing terus tumbuh pesat dan diperkirakan akan mencapai nilai 480 miliar dollar AS (sekitar Rp7.963 triliun) pada tahun 2027. Para pakar menilai, kebijakan baru China ini akan menjadi ujian besar bagi negara tersebut untuk menemukan keseimbangan antara melawan penyebaran informasi keliru dan mempertahankan kebebasan berekspresi di era digital. (*)



















