HARI-hari berlalu tanpa kabar Papa. Aparat resmi mengumumkan kalau Papa masuk daftar buronan. Foto wajahnya terpampang di televisi nasional, media sosial, bahkan papan pengumuman kepolisian. Nama yang dulu kami banggakan kini menjadi aib yang dipertontonkan ke seluruh negeri.
Sementara itu, Brajantara Construction benar-benar hancur. Rekening dibekukan, aset disita, dan kontrak-kontrak proyek dibatalkan.
Vendor dan subkontraktor melayangkan gugatan, pekerja menuntut gaji, investor menarik modal.
Kementerian Pekerjaan Umum (PU) memasukkan perusahaan kami ke dalam daftar hitam. Tidak boleh mengikuti tender apa pun. Bagi dunia konstruksi, itu artinya mati.
Bram menatap pengumuman blacklist dengan suara serak. “Selesai sudah. Kita bukan hanya kehilangan proyek, tapi juga nama.”
Bruno terpuruk di kursinya. “Papa memilih kabur dan kita yang harus menanggung semuanya.”
Mama berdiri di tengah ruangan, wajahnya letih tapi suaranya tegas. “Ingatlah ini: bukan musuh dari luar yang menghancurkan kita, tapi kesalahan kita sendiri. Jangan pernah ulangi.”
Aku, Brina, menatap papan nama Brajantara Construction di depan kantor yang sudah gelap. Lampu padam, stiker segel aparat menempel di pintu dan di halaman depan.
Wartawan masih menunggu sisa-sisa drama. Aku berbisik pada diriku sendiri, “Brajantara lahir dari kejujuran, tapi mati karena keserakahan.”
Runtuhnya Brajantara Construction adalah kisah pahit yang menyisakan banyak pelajaran. Bukan hanya bagi keluarga kami, tapi juga bagi semua bisnis keluarga di Indonesia.
Pelajaran penting dari sisi hukum dan bisnis:
1. TPPU Bukan Isu Ringan
UU No. 8 Tahun 2010 memberi kewenangan pada Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dan aparat terkait untuk membekukan rekening, menyita aset, bahkan mempidanakan individu dan perusahaan hingga 20 tahun penjara.
2. Pencampuran Politik dan Bisnis Sangat Berbahaya
Menggunakan kedudukan politik untuk kepentingan keluarga membuka pintu bagi korupsi dan pencucian uang. Ketika politik runtuh, bisnis pun ikut hancur.
3. Reputasi adalah Aset Terbesar
Sekali perusahaan dicap terlibat Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) atau money laundering, klien dan investor akan pergi. Blacklist dari pemerintah berarti jalan buntu untuk semua proyek resmi.
4. Pentingnya Good Corporate Governance (GCG)
Bisnis keluarga harus punya sistem audit independen, pemisahan keuangan pribadi dan perusahaan, serta mekanisme pengawasan internal agar tidak mudah diseret ke jalur hukum.
5. Keluarga Harus Jadi Penopang, Bukan Korban
Seberapa besar pun ambisi seorang founder, anak-anak dan pasangan seharusnya dilindungi dan bukan dikorbankan. Ketika fondasi kepercayaan runtuh, bisnis tidak punya tempat lagi untuk berdiri.
Dengan Papa yang masih buron dan perusahaan yang bangkrut, nama besar Brajantara kini tinggal sejarah. Namun, dari reruntuhan itu lahir peringatan bahwa bisnis keluarga hanya bisa bertahan jika dijaga dengan kejujuran, profesionalisme, dan perlindungan hukum yang kuat. (Anies Tiana Pottag-Habis)