SURAT panggilan kedua dari penyidik tiba di meja rapat perusahaan. Kali ini, isinya jauh lebih berat yakni permintaan membawa semua dokumen transaksi perusahaan dan rekening pribadi Papa. Tidak ada lagi jalan untuk menunda.
Bram meremas surat itu dengan wajah muram. “Pa, ini jelas. Sesuai UU Nomor 8 Tahun 2010, setiap orang yang menempatkan, mentransfer, atau menggunakan dana hasil tindak pidana, seakan-akan sah, bisa dipenjara sampai 20 tahun dan didenda Rp10 miliar. Kalau Papa tetap keras kepala, kita semua ikut terbawa.”
Papa menyandarkan diri di kursi, wajahnya kaku. “Bram, kau terlalu panik. Semua ini hanya permainan politik. Mereka ingin menjatuhkan Papa, bukan perusahaan.”
Bruno membalas cepat, suaranya meninggi. “Tapi rekening perusahaan sudah dibekukan, Pa! Proyek jalan tol berhenti, vendor menagih, karyawan gelisah. Apa itu juga permainan politik?”
Aku, Brina, ikut bicara dengan suara gemetar. “Pa, hasil analisis PPATK sudah keluar. Ada transfer ratusan juta dari rekening pihak ketiga yang tidak pernah tercatat dalam kontrak. Itu bukti pencucian uang. Kita tidak bisa menutup mata lagi.”
Papa membanting asbak ke meja. “Kalian semua menuduh Papa kriminal? Apa kalian lupa siapa yang membangun Brajantara sampai sebesar ini?”
Mama akhirnya angkat bicara. Ia menatap Papa dengan mata penuh air. “Aku tidak lupa, Pa. Aku yang menemanimu dari awal, saat kita hanya punya kontrakan kecil. Tapi ini berbeda. Kau bukan hanya menyakiti kami, kau menyeret anak-anakmu ke jurang hukum. Kau mencampuradukkan uang politik dengan bisnis keluarga.”
Ruangan sunyi. Broto yang biasanya diam, akhirnya bersuara lirih. “Kalau ini terus berlanjut, aset kita bisa disita negara. Nama baik kita habis. Aku tidak sanggup, Pa.”
Papa menatap kami satu per satu, wajahnya campuran marah dan putus asa. “Kalian semua, bahkan anak-anakku sendiri, sudah tidak percaya lagi pada Papa?”
Tidak ada yang menjawab. Yang terdengar hanya suara Mama yang menangis. “Bukan soal percaya atau tidak, tapi ini soal hukum. Dan, hukum tidak bisa kau lawan dengan ambisi.”
Malam itu, aparat datang memasang segel di lemari dokumen kantor. Para karyawan berdiri di koridor. Sebagian menangis, sebagian lain menunduk pasrah. Dari jendela, aku melihat papan nama Brajantara Construction diterangi sorot kamera wartawan.
Aku berbisik pada diriku sendiri. “Kami dulu bangga karena perusahaan ini berdiri atas kejujuran. Sekarang, kami dicap keluarga pencuci uang.”
Dan di saat itu, aku tahu bahwa bukan hanya bisnis yang runtuh, tapi juga nama baik keluarga yang tak akan pernah kembali sama.
(Bersambung)