BRAJANTARA Construction dulu berdiri sebagai lambang kerja keras dan integritas.
Papa membangunnya bersama Mama dari nol, dari proyek rumah sederhana hingga dipercaya menggarap jalan tol, gedung pemerintah, bahkan proyek infrastruktur besar di Jawa Timur.
Semua orang tahu, nama Brajantara adalah nama yang bersih.
Namun segalanya berubah ketika Papa memutuskan terjun ke dunia politik. Ia maju sebagai calon legislatif, dan dengan mudah melenggang ke kursi DPR berkat reputasinya sebagai pengusaha sukses.
Awalnya, keluarga merasa bangga. “Papa sekarang bukan hanya membangun gedung, tapi juga membangun negeri,” kata Mama dengan senyum bangga waktu itu.
Tapi kebanggaan itu perlahan berganti cemas. Setelah Papa duduk di Senayan, ritme hidup keluarga ikut berubah.
Telepon larut malam menjadi biasa. Pertemuan-pertemuan dengan pejabat berlangsung di hotel mewah selalu tertutup.
Kontrak-kontrak perusahaan datang deras, tetapi bukan lagi lewat jalur tender transparan, melainkan lewat “kedekatan politik.”
Suatu malam, kami berkumpul di ruang rapat keluarga. Bram membuka suara lebih dulu. “Pa, proyek flyover baru ini… kenapa tiba-tiba kita yang dapat, padahal kita tidak ikut tender resmi?”
Papa hanya tersenyum tipis dan menepuk bahunya. “Inilah keuntungan punya posisi. Politik membuka pintu yang tidak bisa dibuka orang biasa.”
Bruno tidak bisa menahan amarah. “Tapi Pa, cara ini berbahaya. Kalau aliran dananya tidak jelas, bisa masuk kategori money laundering. UU No. 8 Tahun 2010 tegas soal ini. Jangan main-main.”
Papa menyalakan rokoknya dan menghembuskan asap pelan. “Selama Papa ada di DPR, tidak ada yang berani menyentuh kita.”
Aku, Brina, hanya menatap Mama. Wajahnya tegang, matanya menyiratkan rasa takut yang ditahan dalam diam. Mama tidak berkata apa-apa, hanya menunduk, seperti menyembunyikan kegelisahan yang semakin berat.
Kami semua tahu, sejak hari itu, bayangan politik sudah masuk ke meja rapat keluarga. Dan bersama bayangan itu, ancaman baru mulai menghantui Brajantara Construction.
(Bersambung)