Scroll untuk baca artikel
Bonek Bule
TOP SAGU
TOP SAGU
TOP MEDIA
FAMILY BUSINESSES

Arisan Branded yang Menghancurkan Bisnis Keluarga (7-Habis): Hikmah dari Keruntuhan

31
×

Arisan Branded yang Menghancurkan Bisnis Keluarga (7-Habis): Hikmah dari Keruntuhan

Sebarkan artikel ini
Ilustrasi family business story. (Foto: AI/Chat GPT)
toplegal

BRAJANTARA Group berdiri kokoh selama puluhan tahun sebagai perusahaan distribusi bahan bangunan yang disegani.

Papa membangun jaringan proyek, Mama mengurus rumah tangga, dan anak-anak ikut terlibat dalam operasional. Kehidupan keluarga berjalan stabil sampai akhirnya Mama mulai terjun ke dunia arisan barang branded.

ROYALTI MUSIK

Awalnya hanya tas, sepatu, dan jam tangan bermerek. Mama bilang ini sekadar cara menjaga pergaulan dengan ibu-ibu pejabat dan pengusaha. Papa pun menganggapnya tidak masalah.

“Selama bisnis sehat, biarlah Mama senang,” katanya waktu itu. Tidak ada yang menyangka dari situlah benih kehancuran dimulai.

Arisan makin lama makin besar. Setoran ratusan juta diperlukan setiap bulan, dan Mama mulai mengambil dari kas perusahaan dengan alasan “pinjam sementara.”

Bram dan Bruno menegur, tapi Mama bersikeras. “Kalau Mama berhenti, nama keluarga kita jatuh. Orang akan bilang keluarga Brajantara tidak selevel,” ucapnya.

Baca Juga:  Drama Tes DNA Hancurkan Bisnis Keluarga (6): Papa yang Tersisih

Suatu hari, salah satu ketua arisan kabur membawa uang. Panik melanda. Mama harus tetap setor agar tidak dipermalukan, dan lagi-lagi kas perusahaan yang jadi korban. Gosip pun menyebar dengan cepat, karyawan berbisik, vendor mulai curiga, bahkan bank menolak memberi pinjaman tambahan.

Situasi makin parah ketika tagihan vendor menumpuk. Mereka datang ke kantor bukan sebagai mitra, tapi penagih. “Kami tahu uang perusahaan dipakai buat arisan tas!” bentak salah satu vendor di depan lobi.

Karyawan syok, nama baik keluarga hancur. Bram menumpuk surat somasi di meja rapat, wajahnya merah karena marah. Bruno tak lagi bisa membela Mama, sementara Papa hanya tertunduk muram.

Total utang arisan sudah mencapai setengah miliar yang menyebabkan proyek terhenti dan gaji karyawan tertunda. Media lokal ikut mencium aroma skandal. Foto Mama dengan tas branded terpampang di halaman depan koran dengan judul pedas: “Bisnis Besar Runtuh Gara-Gara Gengsi.”

Hari paling pahit tiba ketika pengadilan resmi menyatakan Brajantara Group pailit. Semua aset disita dan rekening dibekukan. Papan nama besar perusahaan diturunkan. Vendor menggugat, bank menutup akses dan investor pergi.

Baca Juga:  Bisnis Keluarga dan Skandal Money Laundering (TPPU) (9-Habis): Akhir Sebuah Nama

Wartawan berkerumun di depan kantor untuk memotret Mama yang keluar dengan wajah tertutup kerudung.

Suatu malam, rumah begitu sunyi. Mama hanya menatap lemari penuh tas, sepatu, dan perhiasan dengan air mata mengalir. “Semua ini tidak ada nilainya dibandingkan keluarga dan perusahaan yang hancur,” bisiknya.

Bagi kami, anak-anak Brajantara, inilah pelajaran paling pahit. Bukan pesaing, bukan krisis ekonomi, tapi gengsi dan gaya hidup semu yang menghancurkan segalanya.

Arisan barang branded yang tampak mewah di luar ternyata hanya jerat utang dan kehancuran di dalam. Bisnis yang dibangun dengan susah payah bertahun-tahun runtuh hanya dalam hitungan bulan.

Pelajaran hukum dan bisnis dari kasus ini sangat jelas. Pertama, pencampuran keuangan pribadi dengan perusahaan adalah kesalahan fatal. Kedua, tidak adanya pengawasan internal membuat kebocoran dana tidak terdeteksi sejak awal.

Baca Juga:  Kutukan Generasi ke-3, Pertarungan Kepemimpinan di Perusahaan Keluarga (1): Bayangan yang Tak Pernah Hilang

Ketiga, gaya hidup konsumtif tidak pernah bisa menggantikan reputasi dan kepercayaan yang menjadi modal terbesar sebuah perusahaan. Keempat, ketika reputasi tercoreng, klien dan bank tidak akan pernah percaya lagi. Dan kelima, keluarga seharusnya jadi penjaga bisnis, bukan penghancur dari dalam.

Meski Brajantara Group sudah runtuh, kami bertekad bangkit suatu hari nanti. Bukan dengan tas mewah, bukan dengan arisan palsu, melainkan dengan kerja keras, disiplin, dan integritas.

Aku menatap papan nama perusahaan yang sudah patah di halaman rumah, lalu berbisik, “Semoga dari reruntuhan ini lahir kebangkitan baru, bukan dengan kemewahan semu, tapi dengan pondasi yang benar.” (Habis)

TEMANISHA.COM