HARI itu kantor Brajantara Group ramai oleh kedatangan beberapa vendor lama. Mereka datang tidak lagi sebagai mitra, melainkan sebagai penagih.
Suara keras terdengar dari lobi. “Kami sudah kirim material, tapi pembayaran tertahan berbulan-bulan! Kalau tidak dibayar hari ini, kami akan gugat!”
Aku, Brina, turun ke lobi dan mencoba menenangkan. “Tolong beri waktu, kami sedang mengatur keuangan.”
Tapi salah satu vendor membentak, “Kami tidak bisa menunggu! Kami tahu uang perusahaan habis karena arisan Ibu kalian. Jangan tipu kami lagi!”
Kata-kata itu menusuk. Karyawan yang berkerumun hanya menunduk. Sebagian berbisik, sebagian lain mulai takut kehilangan pekerjaan.
Di ruang rapat, suasana tidak kalah panas. Bram melemparkan tumpukan surat somasi ke meja.
“Ini akibatnya! Arisan Mama bukan lagi urusan pribadi. Semua vendor tahu, semua orang tahu. Perusahaan ini sudah di ambang runtuh!”
Mama duduk di sudut ruangan, wajahnya penuh dengan linangan air mata. “Mama tidak pernah bermaksud menghancurkan. Mama hanya ingin kita dihargai, tidak dipandang rendah.”
Bruno mengangkat suaranya, nadanya getir. “Dihargai Ma?, kita tidak butuh tas atau perhiasan untuk dihargai. Kita hanya butuh kepercayaan. Dan itu sudah hilang sekarang.”
Papa yang biasanya diam akhirnya bicara, namun suaranya berat. “Utang menumpuk, vendor menekan, proyek berhenti. Kalau begini terus, kita bisa pailit.”
Keheningan jatuh. Kata “pailit” menggema di kepala kami semua. Itu bukan sekadar ancaman, tapi kenyataan yang mulai mengetuk pintu.
Malam itu, aku berjalan di lorong kantor yang gelap. Lampu-lampu dipadamkan lebih awal untuk menghemat listrik. Di meja kerja, tagihan menumpuk bersama surat peringatan dari bank.
Untuk pertama kalinya, aku benar-benar merasa bisnis keluarga yang dibangun dengan susah payah selama puluhan tahun bisa hancur hanya karena satu kata gengsi.
(Bersambung ke Series 5: gugatan resmi mulai berdatangan, bank tolak memberi pinjaman, dan keluarga hadapi ancaman kebangkrutan)