TOPMEDIA-Di kaki Gunung Pucung, pagi hari dimulai dengan jendela terbuka, aroma apel segar, dan irama jidor yang terdengar dari kejauhan.
Di tengah ketenangan Desa Sejahtera Astra Bumiaji, seorang perempuan menorehkan canting di atas kain putih. Ia tidak hanya membatik, tetapi juga menghidupkan kembali warisan budaya leluhur.
Dialah Anjani Sekar Arum, seniman batik sekaligus penggerak desa.
Ia menjadikan batik sebagai sarana berkarya dan memberdayakan masyarakat.
Bersama anak-anak desa, Anjani membuka jalan baru untuk mengenalkan budaya, menyentuh aspek pendidikan, dan menumbuhkan harapan.
Lulusan Seni dan Desain Universitas Negeri Malang ini memulai langkahnya pada tahun 2014 dengan memperkenalkan karya batik di Galeri Raos Batu.
Karyanya bahkan menarik perhatian Kedutaan Besar Ceko.
Pada 2015, kain batiknya sempat dipamerkan di luar negeri.
Namun, titik balik terbesarnya adalah saat ia kembali ke desa dan mulai mengajar anak-anak membatik—bukan untuk menjadikan mereka pengrajin, melainkan agar mereka memahami budaya melalui karya tangan sendiri.
Pada tahun 2017, upayanya mendapat pengakuan melalui penghargaan SATU Indonesia Awards dari Astra.
Dari sinilah lahir Omah Pembatik Cilik, ruang belajar budaya yang kini menaungi lebih dari 80 siswa dari delapan sekolah di Bumiaji. Di tempat ini, anak-anak belajar teknik mencanting, memilih warna, hingga mengekspresikan cerita melalui batik.
Melalui program Desa Sejahtera Astra, Astra turut mendukung inisiatif yang telah berjalan di Bumiaji.
Pendampingan ini meliputi pelatihan usaha, pengemasan produk, serta promosi agar UMKM lokal tumbuh lebih percaya diri.
Beberapa pelaku usaha kecil mulai memahami cara memasarkan produk, menceritakan kisah usahanya, dan menjangkau pasar yang lebih luas.
Kerja sama ini terus berkembang, termasuk dalam kegiatan Roadshow Lomba Foto Astra dan Anugerah Pewarta Astra 2025.
Lebih dari 100 peserta, terdiri dari jurnalis, komunitas, dan pewarta warga, hadir tidak hanya untuk belajar fotografi, tetapi juga untuk menyerap cerita dari balik batik dan secangkir kopi khas desa.
Setiap wisatawan yang datang untuk melihat batik juga menikmati rujak jambu, membeli pie apel, dan membawa pulang kopi tubruk.
UMKM desa pun ikut berkembang. Pak Soleh, pemilik CV Permata Agro Mandiri, mengolah apel menjadi pie dan pia, mempekerjakan 25 orang dengan omzet mencapai Rp150 juta per bulan.
Produk-produk baru seperti sari jeruk, keripik, dan dodol kini menjadi favorit oleh-oleh—hasil dari bahan yang sebelumnya terbuang.
Anjani juga menggagas pertunjukan Bantengan Bocil, versi anak-anak dari kesenian tradisional bantengan. Pertunjukan ini bebas dari unsur mistis, hanya menampilkan gerakan silat, kain batik di kepala, dan keberanian anak-anak tampil di depan publik.
“Lewat pertunjukan itu, mereka bergerak dan tampil. Mereka belajar mencintai budaya dan mulai merasa bangga. Keberhasilan tidak selalu diukur dari angka, tapi dari kesadaran kecil. Ketika turis asing menginap di rumah warga dan anak-anak mulai belajar bahasa Inggris tanpa disuruh, itu tanda bahwa mereka mulai melihat potensi desa mereka sendiri,” ujar Anjani.
Kisah Anjani memang tidak sensasional, tetapi menyentuh dan nyata.
Ia tidak mengejar angka penjualan besar, melainkan menyediakan ruang belajar bagi anak-anak, membuka partisipasi warga, dan membiarkan budaya berkembang melalui tangan-tangan muda yang mengenalnya sejak dini.
Semangat kolaboratif Anjani dan Batik Bantengan mencerminkan visi Astra untuk berkembang bersama bangsa, sejalan dengan tujuan pembangunan berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs) di Indonesia.