TOPMEDIA – Pernikahan usia dini masih menjadi tantangan serius di Jawa Timur. Data terbaru BKKBN Provinsi Jawa Timur menunjukkan bahwa Kabupaten Jember menjadi daerah dengan angka pernikahan dini tertinggi, mencapai hampir 888 kasus sepanjang tahun, sementara Kota Surabaya mencatat angka terendah dengan hanya empat kasus.
Plh Kepala Perwakilan BKKBN Jatim, Sukamto, menegaskan praktik pernikahan di bawah umur berdampak langsung pada meningkatnya kasus stunting serta persoalan sosial lain.
“Di Jawa Timur itu masih banyak juga pernikahan usia dini di beberapa wilayah. Oleh karena itu, menjadi konsen pemerintah bagaimana kita bisa menurunkan pernikahan usia dini itu paling tidak menjadi zero,” ujarnya di Surabaya, Senin (10/11/2025).
Menurut Sukamto, pernikahan dini berpotensi besar melahirkan anak-anak stunting karena kondisi fisik dan mental pasangan muda belum siap menjadi orang tua.
Pemerintah melalui BKKBN menetapkan usia ideal menikah yakni minimal 21 tahun bagi perempuan dan 25 tahun bagi laki-laki.
Untuk menekan angka pernikahan dini, BKKBN mendorong program edukasi remaja melalui Pusat Informasi dan Konseling Remaja (PIK-R) serta Sekolah Siaga Kependudukan (SSK) di sekolah-sekolah.
Selain itu, BKKBN bekerja sama dengan Kementerian Agama (Kemenag) hingga tingkat kabupaten/kota untuk menekan tingginya dispensasi nikah.
Namun, faktor ekonomi, kehamilan tidak diinginkan (KTD), dan tekanan sosial budaya masih menjadi penyebab utama pengadilan agama memberikan izin pernikahan dini.
“Pernikahan dini berpotensi melahirkan anak-anak stunting karena pasangan muda belum siap secara fisik dan mental,” jelas Sukamto.
Kasus pernikahan dini di Jawa Timur masih menjadi pekerjaan rumah besar bagi pemerintah. BKKBN berharap melalui edukasi kesehatan reproduksi, pendampingan remaja, serta kerja sama lintas instansi, angka pernikahan usia dini dapat ditekan hingga mendekati nol, sehingga generasi muda lebih siap menghadapi masa depan dengan pendidikan dan kemandirian ekonomi. (*)



















