TOPMEDIA – Dari ruang kelas yang penuh keberagaman, seorang dosen menanamkan nilai halal bukan sebagai aturan, melainkan sebagai jalan hidup yang bersih dan transparan.
Di sebuah sudut Jombang yang sarat sejarah, nama Abdul Halim Mahfudz atau akrab disapa Gus Iim, tumbuh di tengah denyut pesantren dan semangat keilmuan yang tak pernah padam.
Lahir pada 17 Juli 1954, Halim bukan hanya pewaris darah biru pesantren, tetapi juga penjaga nilai dan pemikir masa depan tentang bagaimana keberkahan bisa hadir dalam dunia kewirausahaan modern.

Ia adalah putra dari KH Mahfudz Anwar dan Nyai Abidah. Dari garis keturunan ibunya, Halim masih merupakan cicit dari pendiri Nahdlatul Ulama, KH Hasyim Asy’ari Tebuireng. Ibundanya, Nyai Abidah, adalah putri dari KH Ma’shum Ali dan Nyai Choiriyah, yang tak lain adalah putri KH Hasyim Asy’ari.
Jejak darah ulama itu menjadikan Halim tak sekadar pewaris nasab, tapi juga penerus tradisi keilmuan dan tanggung jawab moral keluarga besar pesantren.
Ayahandanya, KH Mahfudz Anwar, dikenal sebagai pendiri Pondok Pesantren Sunan Ampel Jombang dan pernah menjadi pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Seblak, pesantren legendaris yang didirikan KH Ma’shum Ali, mertua sekaligus guru beliau.
Tak heran bila Halim tumbuh dalam lingkungan yang menyatu antara ilmu, spiritualitas, dan pengabdian. Ia juga merupakan kakak kandung KH Abdul Hakim Mahfudz (Gus Kikin), pengasuh Pesantren Tebuireng sekaligus Ketua PWNU Jawa Timur saat ini.
Jejak Intelektual, Dari Seblak ke Cornell
Pendidikan Halim dimulai di Madrasah Ibtidaiyah Nahdlatul Ulama (MINU) Parimono, Jombang (1966), lalu berlanjut ke Pendidikan Guru Agama (PGA) empat tahun dan kemudian Sekolah Persiapan (SP) IAIN Jombang pada 1971.
Namun kisah pendidikannya tak berhenti di sana. Ayahnya mengirim Halim untuk nyantri selama Ramadan di Lasem kepada KH Maksum, sahabat sang ayah. Di sanalah, Halim muda belajar bukan hanya ilmu agama, tapi juga kesahajaan seorang kiai, dari cara menyimak, melayani, hingga melinting tembakau untuk gurunya.
“Belajar bukan sekadar dari kitab, tapi dari tutur dan laku,” begitu ia pernah mengenang.
Selepas SP IAIN, Halim melanjutkan ke Fakultas Adab IAIN Sunan Ampel Surabaya dan mulai mengajar Bahasa Inggris di Lembaga Bahasa IAIN. Ia juga sempat menjadi guru di MAN Surabaya dan MAN Sidoarjo.
Tahun 1985, Halim terpilih mengikuti program Southeast Asian Student Leaders di Amerika Serikat atas undangan USIS, pengalaman yang membuka matanya tentang makna nilai-nilai Islam dalam konteks global.
Tiga tahun kemudian, Halim berangkat ke Cornell University, Ithaca, New York, Amerika Serikat, untuk mempelajari Sejarah Asia Tenggara. Di kampus yang sarat intelektual itu, ia memperdalam pandangannya tentang dinamika sosial dan nilai etika lintas budaya, bekal penting yang kelak ia bawa pulang ke tanah air.
Meniti Karier dan Membangun Nilai
Sekembalinya ke Indonesia, Halim sempat meniti karier di dunia profesional. Ia bergabung dengan Harian Surya di Surabaya, lalu hijrah ke Jakarta dan bekerja untuk lembaga-lembaga internasional seperti The Asia Foundation, Burson-Marsteller, Coca-Cola Indonesia, dan Standard Chartered Bank.
Pengalaman panjang itu memberinya pemahaman bahwa dunia korporasi pun membutuhkan nilai kejujuran, tanggung jawab, dan keberkahan, hal-hal yang diajarkan pesantren sejak kecil.
Pada 2008, Halim mendirikan Halma Strategic, perusahaan yang bergerak di bidang komunikasi dan strategi bisnis.
Namun, darah pesantren dalam dirinya memanggil kembali. Sejak 2017, ia menerima amanat mengelola Yayasan Pendidikan dan Pesantren ROHMAH serta mengasuh Pesantren Seblak, tempat kakek buyutnya dulu mengabdi.
Menanamkan Nilai Pesantren dalam Dunia Bisnis Halal
Kini, Halim dikenal sebagai penggerak pendidikan halalpreneurship, sebuah konsep yang menjembatani nilai-nilai pesantren dengan semangat kewirausahaan modern.
“Di kelas saya, ada empat puluh mahasiswa dari beragam latar belakang. Menariknya, hanya dua belas orang yang beragama Islam. Tapi justru dari keberagaman itulah saya melihat sesuatu yang berharga, yakni toleransi yang tumbuh dengan alami. Tidak ada sekat keyakinan, yang ada hanyalah rasa saling menghargai,” urainya.
“Dari sana saya mulai berpikir, nilai-nilai Islam seperti kebersihan, kejujuran, dan tanggung jawab ternyata bukan hanya soal agama. Ia adalah cara hidup dan lebih dari itu, sebuah bahasa universal yang bisa dipahami siapa pun, di mana pun,” lanjutnya.
Berkaitan dengan kepercayaan dalam halalpreneurship, Gus Im teringat masa ketika ia mengajar mata kuliah Public Relations di Universitas Paramadina Jakarta.
“Dunia PR kini sudah berubah jauh. Kita sudah sampai pada fase PR 5.0, dimana publik tak lagi percaya hanya pada kata-kata manis di siaran pers. Semua butuh bukti. Tidak cukup sekadar wacana, harus ada tindakan nyata,” kenangnya.
“Ketika ada isu besar muncul di masyarakat, publik tak hanya menunggu klarifikasi, tapi menunggu aksi. Mereka ingin melihat siapa yang benar-benar bertanggung jawab. Dan di situlah saya menyadari, konsep halal pun punya makna yang serupa. Ia bukan hanya label, tapi bentuk nyata dari komitmen terhadap kebaikan dan kejujuran,” jelas Halim yang saat ini mengajar mata kuliah Inovasi Halal di Universitas Ciputra (UC) Surabaya.
Sekarang, di era transparansi, semua hal dituntut bersih dan bisa dipercaya. Baik itu pelayanan publik, produk, atau perilaku pejabat. Kepercayaan bukan lagi sesuatu yang bisa diklaim, ia harus dibangun, dijaga, dan dibuktikan setiap hari.
Menariknya, mahasiswa dari berbagai jurusan pun mulai melihat relevansi nilai-nilai ini. “Ada mahasiswa arsitektur yang ikut kelas saya karena ingin memahami etika profesional dalam perencanaan ruang publik. Ada juga mahasiswa akuntansi yang penasaran bagaimana konsep halal bisa diterapkan dalam sistem keuangan. Dari sana, saya melihat bahwa kesadaran akan pentingnya integritas kini mulai tumbuh lintas disiplin,” urainya berbinar.
Konsep halal pun kini melebar ke berbagai bidang. Tak hanya soal makanan dan minuman, tapi juga fashion, kosmetik, hingga proses produksi. Halal berarti bahan yang bersih, alat yang layak, dan proses yang transparan. Semua harus bisa dipertanggungjawabkan.
“Anak-anak ini belajar bahwa bisnis bukan sekadar profit, tapi tentang kejujuran, asal usul bahan, proses pengolahan, penyimpanan, dan distribusi yang sesuai syariat. Tujuan akhirnya bukan hanya untung, tapi berkah,” tegasnya.

Pemerintah Harus Hadir
Berbicara tentang halal tidak bisa lepas dari peran pemerintah. Ia menyinggung soal BPJPH (Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal), lembaga di bawah Kementerian Agama yang bertugas memastikan kehalalan produk di Indonesia.
Halim kemudian tertawa kecil saat bercerita tentang panjangnya perjalanan pengawasan produk halal di negeri ini.
“Dulu Kementerian Agama yang ngurus, tapi lama-lama nggak sanggup, lalu diserahkan ke MUI. Tapi MUI itu kan lembaga yang ‘atasannya kopiah’,” candanya.
Akhirnya, tanggung jawab itu bergeser lagi ke BPJPH, yang kini berkoordinasi dengan BPOM. Namun, sistemnya belum sempurna.
“Bayangkan, kantor pusat di Jakarta harus mengawasi ratusan juta rakyat di seluruh daerah. Tentu sulit,” sambungnya.
Halim mencontohkan apa yang terjadi di Solo, ada yang jual produk non halal dengan sangat bebasnya. “Ini bukti lemahnya pengawasan pemerintah dari lembaga terkait yang kurang,” katanya.
Masalahnya mungkin bukan pada niat, tapi pada kemampuan. Pengawasan halal membutuhkan sistem yang kuat dan sinergi lintas sektor. Tanpa itu, aturan hanyalah tulisan, bukan jaminan.
Ia berharap ke depan sistem pengawasan bisa lebih terintegrasi dan transparan agar prinsip halal tak hanya berhenti di label, tapi benar-benar diterapkan dari hulu ke hilir.
“Sejak 2024, sertifikasi halal diwajibkan, namun produk yang tak punya label halal bisa dianggap ilegal. Kalimat di belakangnya ini yang akhirnya membuat kebingungan. Bagaimana dengan di Bali, Papua, atau daerah lain yang punya tradisi berbeda? Padahal esensi halal itu bukan hanya soal larangan agama, tapi tentang kebersihan, kesehatan, dan kebaikan.” ungkapnya.
Dalam pandangan Halim, Indonesia memiliki posisi strategis di peta industri halal dunia. Dengan populasi muslim terbesar dan potensi produk lokal yang kaya, Indonesia semestinya bukan hanya konsumen, tapi juga pemain utama.
Tantangannya, kata Halim, ada pada konsistensi, menjaga mutu, kejujuran, dan kepercayaan.
Ia juga melihat peluang besar di era digital. Halalpreneur bisa tumbuh di sektor e-commerce, fintech syariah, hingga pariwisata halal. Namun semua itu harus berpijak pada prinsip yang sama: kehalalan bukan hanya label, tapi komitmen spiritual.
Bagi Halim, halalpreneurship bukan sekadar istilah akademik, melainkan gerakan moral. Ia percaya bahwa pesantren punya potensi besar membentuk ekosistem ekonomi halal Indonesia.
“Pesantren itu gudang nilai. Kalau nilainya dihidupkan, kita bisa mencetak pengusaha muda yang beretika dan tangguh di pasar global,” pesannya.
Ingin Wujudkan Kota Halal
Di balik semua pandangannya yang serius, ada satu mimpi sederhana yang ia simpan rapat. “Saya ingin membangun kota halal di Jombang,” katanya pelan.
“Dimulai dari desa halal, lalu tumbuh menjadi kota halal, dimana pasar, transaksi, hingga cara menyimpan hasil usaha semuanya sesuai prinsip halal,” ungkapnya.
Halim tampak berbinar dengan mimpi besarnya ini. Desember tahun ini, ia akan mulai membangun mimpinya. “Indonesia ini akan lebih sehat kalau semua dimulai dari yang halal,” tuturnya dengan senyum yang penuh keyakinan.
Kisah Abdul Halim Mahfudz adalah perjalanan panjang dari pesantren ke dunia global, dari kitab kuning hingga business canvas, dari nyantri di Lasem hingga menginspirasi mahasiswa di ruang kuliah modern.
Ia menunjukkan bahwa spiritualitas dan profesionalitas bukanlah dua kutub yang berlawanan, melainkan dua sisi dari mata uang yang sama, sama-sama bernilai jika dijalankan dengan niat baik dan kesungguhan.
Dalam setiap langkahnya, Halim mengajarkan satu hal yang tak lekang oleh waktu. Bahwa keberkahan adalah kompas. Selama kita menjaganya, jalan apa pun yang ditempuh akan sampai pada kebaikan.
Kepada generasi muda, ia menyampaikan pesan sederhana tapi kuat: “Jadilah pengusaha yang bukan hanya sukses, tapi juga membawa manfaat. Karena nilai sejati dari halalpreneur bukan pada besar omzetnya, tapi pada seberapa besar berkah yang bisa ia bagi,” pungkasnya.(Ayunda)



















