TOPMEDIA – Merebaknya kasus perundungan (bullying) di lingkungan sekolah, termasuk insiden tragis yang berujung bunuh diri di Sukabumi, mendorong Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) mengambil langkah strategis baru. Pemerintah meluncurkan program Duta Antikekerasan sebagai upaya utama untuk memperkuat perlindungan peserta didik.
Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Abdul Mu’ti menyatakan, pembentukan Duta Antikekerasan ini merupakan bagian dari kebijakan baru yang berfokus pada pencegahan kekerasan secara aktif dengan melibatkan pelajar.
“Rencananya kami akan membentuk Duta Antikekerasan dari kalangan para murid itu sendiri, sehingga ada pelibatan siswa dalam upaya pencegahan kekerasan,” ujar Abdul Mu’ti di Jakarta, Jumat.
Para duta ini akan direkrut dari organisasi siswa seperti OSIS dan Pramuka, dan berperan sebagai pendidik sebaya (peer educator) yang bertugas menciptakan lingkungan belajar yang aman dan ramah anak.
Pendekatan berbasis teman sebaya (peer educator) dinilai lebih efektif dalam mendeteksi potensi kekerasan dan membuka ruang komunikasi yang jujur di antara siswa. Program ini diharapkan dapat menumbuhkan empati, solidaritas, dan kepedulian sosial yang menjadi benteng pertama melawan perundungan.
Selain pelibatan siswa, Kemendikdasmen juga tengah menyiapkan Peraturan Menteri dan aturan teknis yang menguatkan peran guru. Dalam kebijakan baru ini, guru diwajibkan tidak hanya berfokus pada aspek akademik, tetapi juga mendampingi siswa secara psikologis, spiritual, sosial, dan moral.
Untuk memastikan kebijakan ini berjalan tanpa menambah beban kerja, Mendikdasmen menjamin bahwa kegiatan pendampingan tersebut akan diekuivalensikan dengan jam mengajar guru.
“Guru harus mendampingi murid, tidak hanya soal akademik, tetapi juga masalah psikologis, spiritual, dan sosial. Pendampingan itu akan dihitung setara dengan jam mengajar agar tidak menambah beban tugas,” jelasnya.
Langkah dualistik, yakni pelibatan siswa dan penguatan peran guru, ini merupakan respons langsung terhadap data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) yang menunjukkan bahwa kekerasan terhadap anak di sekolah, baik fisik, verbal, maupun cyberbullying, masih mendominasi laporan tahunan.
“Kami ingin sekolah menjadi tempat yang aman dan nyaman, di mana anak-anak bisa belajar dengan gembira dan penuh semangat untuk mencapai cita-cita mereka,” pungkas Mu’ti. (*)



















