TOPMEDIA – Menjelang rilis resmi data Produk Domestik Bruto (PDB) oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada Rabu (5/11/2025), Permata Institute for Economic Research (PIER) memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal III-2025 akan mencapai 5,04 persen secara tahunan (year-on-year/yoy).
Angka ini menunjukkan perlambatan dibandingkan kuartal II yang tumbuh 5,12 persen, namun tetap berada di atas ambang 5 persen, menandakan arah pertumbuhan yang masih positif.
“Pelemahan ini terutama disebabkan oleh konsumsi rumah tangga yang lebih lemah akibat ketidakpastian politik pada akhir Agustus 2025, serta normalisasi investasi (PMTB) seiring melambatnya impor barang modal,” ujar Faisal
Rachman, Kepala Departemen Riset Makroekonomi dan Pasar Keuangan Permata Bank, dalam keterangannya di Jakarta, Selasa (4/11/2025).
Faisal menjelaskan bahwa meskipun konsumsi domestik dan investasi mengalami tekanan, sektor ekspor tetap menunjukkan kinerja solid.
Hal ini ditopang oleh peningkatan permintaan dari Amerika Serikat hingga Agustus 2025 serta lonjakan wisatawan asing selama musim liburan musim panas.
Di sisi lain, impor diperkirakan menurun karena berakhirnya musim liburan sekolah dan ibadah haji, serta melambatnya aktivitas investasi.
Untuk keseluruhan tahun 2025, PIER memperkirakan pertumbuhan PDB Indonesia akan berada di kisaran 5,0–5,1 persen, sedikit lebih tinggi dari capaian tahun 2024 yang sebesar 5,03 persen.
Proyeksi ini merupakan revisi ke atas dari estimasi sebelumnya yang memperkirakan pertumbuhan sedikit di bawah 5 persen.
“Prospek pertumbuhan masih menghadapi tantangan, sehingga penting bagi pemerintah untuk mempertahankan kebijakan ekonomi yang ekspansif, terutama melalui percepatan belanja ke sektor-sektor produktif yang memiliki efek pengganda tinggi,” tambah Faisal.
Melihat ke tahun 2026, Faisal menilai bahwa risiko eksternal seperti perang dagang, ketegangan geopolitik, dan lambatnya pemulihan ekonomi Tiongkok masih akan membayangi.
Namun, stagnasi ekonomi global berpotensi menahan tekanan inflasi, membuka peluang bagi penurunan suku bunga yang dapat mendorong minat terhadap pasar negara berkembang seperti Indonesia. Dari sisi domestik, stabilitas politik dinilai menjadi faktor krusial bagi keberlanjutan pertumbuhan.
Faisal mengingatkan bahwa meskipun terdapat ruang untuk ekspansi fiskal dan moneter, pembuat kebijakan perlu berhati-hati dalam menjaga keseimbangan antara dorongan pertumbuhan dan stabilitas makroekonomi.
“Defisit transaksi berjalan berpotensi melebar akibat friksi perdagangan, sementara defisit fiskal bisa meningkat di tengah kebijakan yang berorientasi pada pertumbuhan. Ini harus diantisipasi dengan kebijakan yang terukur,” tutup Faisal. (*)



















