TOPMEDIA – Insiden ejekan terhadap influencer disabilitas Muhammad Badru saat menonton laga Persebaya vs Persija di stadion kembali membuka luka lama soal bullying fisik di ruang publik.
Badru, yang dikenal sebagai sosok ceria dan inspiratif di media sosial, menjadi sasaran hinaan dari sekelompok penonton yang menyebutnya “Kepiting Alaska”.
Peristiwa ini viral dan memicu empati serta kemarahan publik, termasuk dari sang ibunda yang menyuarakan kesedihannya dalam sebuah video yang beredar luas.
Dalam video tersebut, ibunda Badru tak kuasa menahan tangis. Ia menyampaikan bahwa tidak ada seorang pun yang memilih terlahir dengan disabilitas, dan meminta masyarakat untuk berhenti menghina fisik orang lain.
“Kami tidak bisa memilih, karena ini adalah pemberian dari Tuhan,” ujarnya dengan suara bergetar.
Meski pelaku telah menyampaikan permintaan maaf secara terbuka, pertanyaan hukum tetap mengemuka, apakah klarifikasi dan permintaan maaf bisa menghapus pidana?
Berdasarkan KUHP dan Undang-Undang ITE, tindakan penghinaan fisik di tempat umum termasuk tindak pidana yang dapat dikenakan sanksi hukum.
Berikut dasar hukum yang mengatur tindakan bullying fisik dan verbal:
– Pasal 310 KUHP: Penghinaan di muka umum dapat dipidana hingga 9 bulan penjara atau denda Rp 4.500.
– Pasal 315 KUHP: Penghinaan ringan di tempat umum dapat dipidana hingga 4 bulan 2 minggu atau denda Rp 4.500.
– Pasal 27A Jo. Pasal 45 ayat (4) UU ITE: Penyerangan kehormatan melalui media elektronik dapat dipidana hingga 2 tahun penjara atau denda Rp 400 juta.
– Pasal 28 ayat (2) Jo. Pasal 45A ayat (2) UU ITE: Penghasutan kebencian terhadap kelompok, termasuk penyandang disabilitas, dapat dipidana hingga 6 tahun penjara atau denda Rp 1 miliar.
– Pasal 45 ayat (5) UU ITE: Tindak pidana ini merupakan delik aduan, hanya dapat diproses atas laporan korban.
– Pasal 8 Perpol No. 8 Tahun 2021: Kasus ITE dapat diselesaikan melalui restorative justice dengan syarat tertentu.
Penghinaan terhadap Badru terjadi di stadion, yang merupakan ruang publik. Berdasarkan Pasal 310 dan 315 KUHP, tindakan tersebut termasuk penghinaan di muka umum dan dapat diproses hukum jika ada pengaduan dari korban.
Meski pelaku telah meminta maaf, luka psikologis yang dialami Badru dan keluarganya tidak serta-merta hilang.
Kasus ini menjadi pengingat penting bahwa bullying fisik bukan sekadar candaan, melainkan pelanggaran hukum yang berdampak nyata.
Publik diharapkan lebih sadar dan bijak dalam bersikap, terutama terhadap penyandang disabilitas yang berhak atas perlakuan setara dan bermartabat.