BERITA itu pecah seperti petir di siang bolong. Salah satu portal ekonomi nasional menulis tajuk besar: “Skandal Keuangan di Perusahaan Keluarga Brajantara: Dugaan Pencucian Uang Lewat Crypto.”
Dalam hitungan jam, berita itu menyebar di media sosial.
Papa membaca artikel itu dengan tangan gemetar. “Siapa yang membocorkan data audit?” suaranya berat, seperti menahan amarah dan malu sekaligus.
Bram mencoba menenangkan. “Kita nggak tahu, Pa. Tapi begitu laporan PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, Red) masuk ke bank, pasti banyak mata yang tahu.”
Mama menangis. “Orang-orang telepon aku terus, nanya apa benar Broto terlibat. Aku bahkan nggak bisa keluar rumah. Semua menghakimi.”
Broto hanya duduk di pojok ruangan, wajahnya pucat, tatapan matanya kosong. “Aku nggak bermaksud begini. Aku cuma ingin perusahaan kelihatan maju, bukan hancur.”
Bruno menatap adiknya tajam. “Kamu pikir main crypto itu keren? Kamu main di dunia yang nggak kamu pahami, Bro. Dan sekarang… Papa bisa kehilangan semuanya.”
Malamnya, wartawan datang ke rumah. Kamera dan mikrofon berdesakan di depan pagar. “Pak Brajantara! Apa benar dana perusahaan digunakan untuk investasi ilegal?!”
Papa menutup pintu dengan keras, wajahnya merah padam. “Pergi semua! Kami tidak akan komentar apa pun!”
Tapi kerusakan sudah terjadi. Beberapa klien besar membatalkan kerja sama. Rekan bisnis lama menghubungi Bram, menyatakan “mundur sementara” sampai kasus ini selesai.
Bahkan karyawan mulai gelisah. Beberapa memilih mengundurkan diri karena takut terlibat.
Aku, Brina, duduk di ruang tamu yang kini terasa seperti medan perang. Dokumen berserakan, telepon tak henti berdering, dan suara Papa yang dulu tegas kini berubah menjadi keluhan lelah.
“Dunia digital… aku kira akan membuat kita bertahan. Tapi ternyata, malah mengubur nama kita,” katanya pelan.
Aku memandangi layar laptop Broto yang masih terbuka, menampilkan saldo crypto yang kini nyaris nol. Nilai digital itu sudah menguap, sama seperti reputasi keluarga kami.
Di dunia maya, komentar pedas bermunculan: “Bisnis tua sok modern, tapi nggak ngerti aturan.”
Dan, aku sadar sekarang bukan hanya uang yang hilang, tapi juga kepercayaan, harga diri, dan nama besar yang dulu menjadi kebanggaan. (*)
(Bersambung ke Series 5: tekanan hukum datang, PPATK dan aparat memanggil Broto, keluarga harus menghadapi ancaman pidana di tengah kehancuran bisnis)