TOPMEDIA – Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digagas pemerintah untuk meningkatkan gizi anak-anak sekolah kini menjadi sorotan publik.
Alih-alih menyehatkan, program ini justru memicu kekhawatiran nasional setelah ribuan anak dilaporkan mengalami keracunan massal.
Hingga 5 Oktober 2025, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mencatat sebanyak 11.660 kasus keracunan yang diduga terkait dengan konsumsi makanan dari program MBG.
Data tersebut dihimpun melalui Sistem Kewaspadaan Dini dan Respon (SKDR), platform resmi Kemenkes untuk memantau kejadian luar biasa (KLB) dan penyakit menular.
Lonjakan kasus ini terungkap dalam webinar nasional yang diikuti oleh perwakilan puskesmas, dinas kesehatan, dan laboratorium dari berbagai daerah.
Menurut laporan Badan Gizi Nasional (BGN), kasus keracunan MBG tersebar di tiga wilayah utama. Wilayah I mencatat 1.281 kasus, Wilayah II sebanyak 2.606 kasus, dan Wilayah III mencapai 824 kasus.

Pulau Jawa menjadi daerah dengan jumlah kasus tertinggi, terutama di wilayah perkotaan dengan kepadatan sekolah yang tinggi.
Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) juga melaporkan bahwa dalam sepekan pasca penutupan sebagian dapur MBG (SPPG), jumlah korban justru meningkat.
Dari 29 September hingga 3 Oktober 2025, tercatat tambahan 1.833 anak mengalami gejala keracunan, menjadikan total korban mencapai 10.482 anak.
Uji laboratorium menemukan keberadaan bakteri E.coli dan Salmonella dalam beberapa menu makanan MBG. Selain itu, banyak dapur MBG diketahui belum memenuhi standar higienis.
Pemerintah melalui BGN telah menyampaikan permintaan maaf atas insiden ini dan berjanji melakukan evaluasi menyeluruh terhadap pelaksanaan program.
Siapa yang Bertanggung Jawab? Ini Aturannya
Menurut Undang-Undang No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan dan Undang-Undang Perlindungan Konsumen, penyedia makanan wajib menjamin keamanan dan kebersihan pangan.
Setiap produk makanan harus memiliki Sertifikat Jaminan Keamanan dan Mutu Pangan serta Sertifikat Laik Higiene Sanitasi (SLHS). Konsumen, terutama anak-anak sekolah, berhak mendapatkan perlindungan penuh dari risiko kesehatan.
Jika standar tersebut dilanggar, pelaku usaha atau penyedia layanan pangan dapat dikenai sanksi administratif hingga pidana.
Dalam kasus MBG, pertanyaan besar muncul: siapa yang paling bertanggung jawab? Apakah penyedia makanan, lembaga pengawas, atau pemerintah pusat sebagai inisiator program?
Dengan ribuan anak menjadi korban, publik menuntut transparansi dan akuntabilitas dari seluruh pihak terkait.
Evaluasi menyeluruh terhadap sistem pengadaan, pengawasan dapur, dan distribusi makanan MBG menjadi langkah krusial untuk mencegah kejadian serupa di masa depan. (*)