TOPMEDIA – Reza Rahadian kini tidak hanya dikenal sebagai aktor dengan segudang peran, tapi juga resmi melangkah ke dunia penyutradaraan lewat film debutnya berjudul Pangku. Film drama ini akan tayang pada 6 November 2025, namun gaungnya sudah lebih dulu terdengar hingga ke kancah internasional setelah meraih empat penghargaan di Busan International Film Festival (BIFF) 2025.
Dalam film ini, Reza menghadirkan kisah yang jarang disentuh layar lebar: kehidupan para perempuan di jalur Pantai Utara Jawa (Pantura) yang bertahan hidup melalui pekerjaan sebagai pelayan kopi pangku. Lewat tokoh Sartika, diperankan oleh Claresta Taufan, penonton diajak menyelami realitas sosial yang keras namun sarat kemanusiaan. Christine Hakim dan Fedi Nuril juga turut memperkuat cerita sebagai dua karakter yang memberi warna pada perjalanan Sartika.
Reza mengaku ide Pangku lahir dari pengamatan langsung terhadap kehidupan di Pantura. Ia dan tim penulis melakukan riset mendalam sejak awal 2024, bahkan sempat tinggal di sana untuk memahami keseharian para perempuan yang menjadi tulang punggung keluarga. “Saya ingin menghadirkan kisah tentang perempuan yang saling menguatkan, bukan sekadar potret kemiskinan,” ujar Reza.
Debutnya ini langsung disambut hangat. Pangku menyabet empat penghargaan di BIFF 2025, termasuk FIPRESCI Award dan KB Vision Audience Award, menjadikannya film Indonesia dengan raihan penghargaan terbanyak di program Vision tahun ini. Meski begitu, Reza menegaskan bahwa keberhasilan tersebut adalah hasil kerja kolektif seluruh kru dan pemain.
Antusiasme juga datang dari publik. Trailer Pangku yang dirilis di platform X (Twitter) langsung menuai pujian karena visualnya yang kuat dan keberanian temanya. Banyak netizen menyebut film ini terasa “nyata dan menyentuh”, bahkan hanya dari cuplikannya.
Lewat Pangku, Reza Rahadian membuktikan bahwa kisah sederhana dari sudut Indonesia bisa berbicara dengan bahasa universal. Film ini bukan hanya menandai langkah baru dalam kariernya, tetapi juga menjadi refleksi tentang perempuan, daya juang, dan kemanusiaan di tengah kerasnya realitas hidup. (*)