Scroll untuk baca artikel
Bonek Bule
TOP SAGU
TOP SAGU
TOP MEDIA
LIFESTYLE

Mandi Galon dan Flexing Elite: Ketika Simbol Jadi Luka Sosial

43
×

Mandi Galon dan Flexing Elite: Ketika Simbol Jadi Luka Sosial

Sebarkan artikel ini
toplegal

Catatan: M. Ikhsan Tualeka (*) 

DALAM beberapa hari terakhir, media sosial kembali membuktikan keberadaannya sebagai arena besar tempat gosip mengemuka yang kemudian bertumbuh menjadi wacana serius di masyarakat.

HALAL BERKAH

Kali ini, yang menjadi bahan pembicaraan adalah Menteri Pariwisata Widiyanti Putri Wardhana. Bukan soal kebijakan atau program kementerian yang dipimpinnya, melainkan gosip yang terdengar absurd: konon ia mandi menggunakan air galon.

Isu itu menjadi viral setelah dibongkar akun @makassar.info. Bahkan rumor ini disebut atau diceritakan langsung oleh seseorang yang mengaku sebagai pegawai Kemenpar.

Publik pun ramai mengkritik gaya hidup menteri yang dikenal super tajir ini. Dalam laporan warganet, Widiyanti kerap membuat permintaan merepotkan saat kunjungan kerja di daerah.

Saat ke Labuan Bajo misalnya, dia disebut meminta air galon bukan untuk diminum, melainkan untuk mandi. Komentar miring pun bermunculan (Kompas, 22 September 2025).

Bagi sebagian orang, kabar itu tak lebih dari sekadar lelucon murahan yang tak pantas diperbincangkan. Namun bagi sebagian lain, cerita ini segera memantik tawa sekaligus sinisme.

Lantas, mengapa isu remeh-temeh semacam itu bisa viral? Karena ia menyentuh satu hal yang sangat sensitif di masyarakat kita: jurang sosial yang semakin lebar antara elite dan rakyat.

Bagi jutaan warga, air bersih adalah kebutuhan dasar yang sulit dipenuhi. Di kota-kota besar, air PDAM sering kali tak layak konsumsi.

Sementara di desa-desa, banyak keluarga masih mengandalkan air sumur seadanya, atau harus berjalan jauh untuk mengambil air. Tak sedikit pula yang terpaksa harus membeli air isi ulang untuk keperluan sehari-hari.

Dalam kenyataan ini, kabar bahwa seorang pejabat memilih mandi dengan air galon, benar atau tidak, segera berubah menjadi simbol kemewahan.

Baca Juga:  Di Balik Rumor Renggang: Larissa Chou Ungkap Alasan Jarang Pamer Kemesraan dengan Suami

Sesuatu yang menghadirkan kesan bahwa pejabat publik hidup di dunia lain, jauh dari realitas sosial rakyat yang mereka wakili atau pimpin.

Meski mandi dengan air galon tidak dalam rangka untuk dipamerkan terutama lewat media sosial, tapi kabar ini tentu merefleksikan soal gaya hidup yang jauh dari kata sederhana, sehingga fenomena ini bagian dari gejala yang lebih besar: flexing elite.

Sebelumnya kita mengenal istilah flexing dari dunia influencer dan selebritas media sosial, yang gemar memamerkan gaya hidup dengan tas mewah, mobil sport, atau liburan eksotis penuh fasilitas.

Namun ketika dilakukan oleh figur hiburan, flexing masih dianggap bagian dari tontonan yang menghibur. Tetapi ketika gaya hidup semacam itu kemudian dipertontonkan pejabat publik, dampaknya lebih serius dan kontraproduktif.

Sebab flexing elite adalah persoalan etika, karena pejabat memegang mandat rakyat dan simbol legitimasi negara. Flexing pejabat alih-alih menghibur, justru bisa jadi menghina rakyat.

Kita masih ingat kasus pejabat pajak yang tersandung sorotan publik setelah gaya hidup mewah keluarganya terbongkar lewat media sosial.

Publik juga bereaksi keras terhadap anggota DPR atau istri pejabat yang tampil dengan tas branded atau jam tangan ratusan juta di forum resmi.

Polanya serupa. Masyarakat kian tidak toleran pada gaya hidup pejabat yang dianggap berlebihan, terlebih ketika jutaan orang masih bergulat dengan kebutuhan dasar. itu sebabnya gosip mandi air galon tak bisa dilepaskan dari konteks ini.

Karena memperkuat persepsi bahwa pejabat kita semakin terjebak pada simbol-simbol status sosial atau standar hidup yang tinggi dan mewah, sementara rakyat merasa makin terpinggirkan.

Bahaya dari flexing elite tidak boleh dianggap sepele. Demokrasi modern bertumpu pada kepercayaan antara rakyat dan pemimpin.

Baca Juga:  Tampil di MTV VMA 2025, Sabrina Carpenter Beri Penghormatan Ikonis untuk Britney Spears

Rakyat percaya bahwa pejabat publik bekerja untuk mereka, sementara sebaliknya pejabat percaya rakyat telah memberi mandat kepada mereka.

Ketika pejabat justru mempertontonkan gaya hidup yang berjarak, kepercayaan itu tergerus sedikit demi sedikit. Rakyat tidak lagi melihat pejabat sebagai pelayan, melainkan sebagai bagian dari lingkar sosialita yang kebetulan atau beruntung duduk di kursi kekuasaan.

Lebih jauh, flexing elite berisiko menormalisasi gaya hidup hedon dalam birokrasi. Jabatan publik lalu dipandang bukan sebagai amanah, melainkan tiket menuju status dan fasilitas mewah.

Jika pola ini terus berlangsung, lahirlah generasi elite baru yang lebih sibuk menjaga citra sosialnya ketimbang menjalankan tanggung jawab publiknya.

Sejarah bangsa ini sebenarnya menyimpan banyak teladan yang berlawanan. Ada menteri yang memilih hidup sederhana meski memiliki pangkat, jabatan atau kuasa besar,

Ada pejabat yang sengaja tampil apa adanya di forum internasional untuk menunjukkan otentisitas, ada pula kepala daerah yang tetap membumi meski eksistensinya mendapat sorotan dunia.

Kesederhanaan mereka bukan pencitraan belaka, melainkan bagian dari etika publik. Bahwa pejabat adalah pelayan rakyat, bukan penguasa yang petantang-petenteng, berdiri jauh di atas rakyat.

Inilah yang sering terlupakan. Seorang pejabat publik, betapapun tinggi jabatannya, pada dasarnya adalah teladan. Ia bukan hanya pengambil kebijakan, melainkan figur yang dilihat, ditiru, dan dinilai langsung oleh rakyat.

Bagaimana mereka hidup, cara mereka bersikap, bahkan hal-hal kecil seperti pilihan gaya hidup, memberi pesan kuat kepada masyarakat luas.

Ketika pejabat tampil sederhana, rakyat melihat kesamaan nasib dan merasa dekat. Tetapi ketika pejabat justru sibuk flexing, rakyat merasa semakin jauh, bahkan ditinggalkan.

Karena itu, gosip mandi air galon seharusnya menjadi bahan refleksi, bukan sekadar bahan tawa. Ini mengingatkan bahwa publik sangat peka pada gaya hidup pejabat, bahwa setiap simbol bisa dimaknai sebagai bentuk ketidakpekaan.

Baca Juga:  Sering Kesal Orang Salah Ucap, Terungkap Begini Cara Menyebut Nama Kirsten Dunst

Bahwa legitimasi seorang pejabat tidak hanya diukur dari pidatonya, tetapi juga dari sikap hidup sehari-hari yang mencerminkan rasa hormat atau respek pada realitas kehidupan rakyat.

Rakyat tentu tidak menuntut pejabat untuk ikut hidup miskin atau menolak fasilitas negara. Mereka hanya menginginkan pemimpin yang wajar, sederhana, dan tidak berlebihan.

Kesederhanaan bukanlah kelemahan, melainkan kekuatan moral. Kerendahan hati bukan sekadar strategi komunikasi, melainkan fondasi kepercayaan yang dipegang teguh.

Dalam dunia politik yang semakin penuh skeptisisme, kepercayaan rakyat adalah modal yang paling berharga, lebih dari angka anggaran atau capaian statistik yang dikemukakan.

Pada akhirnya, mandi air galon mungkin hanya gosip, bisa jadi tidak benar sama sekali. Namun gosip ini sudah bekerja sebagai cermin.

Cermin yang memperlihatkan kegelisahan publik atas gaya hidup elite yang semakin berjarak, dan luka simbolik yang kerap ditimbulkan oleh flexing di tengah ketimpangan dan disparitas.

Jika pejabat publik tidak segera menyadari pentingnya kesederhanaan sebagai teladan, maka yang kita hadapi bukan sekadar krisis citra, melainkan krisis legitimasi dan krisis sosial.

Negara ini dibangun bukan hanya oleh kebijakan, tetapi juga oleh teladan. Rakyat membutuhkan pemimpin yang bisa dipercaya, dan kepercayaan itu lahir dari hal-hal sederhana.

Sederhana yang tercermin dari cara hidup yang membumi, sikap yang rendah hati, dan pilihan untuk tidak menjadikan jabatan sebagai panggung kemewahan dan tebar pesona.

Karena pada akhirnya, rakyat tidak menuntut pejabatnya mandi dengan air sumur, mereka hanya ingin merasakan bahwa pemimpinnya benar-benar hidup di dunia yang sama dengan mereka.

(*) Penulis adalah redaktur senior Top Media

TEMANISHA.COM