Scroll untuk baca artikel
Bonek Bule
TOP SAGU
TOP SAGU
TOP MEDIA
LIFESTYLE

Kisah di Balik Menu Lezat, Ada Penderitaan Para Pahlawan Dapur Makan Siang Gratis di Korea

31
×

Kisah di Balik Menu Lezat, Ada Penderitaan Para Pahlawan Dapur Makan Siang Gratis di Korea

Sebarkan artikel ini
toplegal

TOPMEDIA – Di panggung media sosial global, menu makan siang sekolah Korea Selatan sering kali menjadi bintang. Piring-piring penuh dengan hidangan lezat seperti udang goreng saus tartar, nasi goreng telur, sup mi sapi, hingga salad mangga-stroberi menarik jutaan pasang mata di TikTok dan YouTube. Program makan siang gratis ini menjadi kebanggaan nasional, simbol kepedulian pemerintah terhadap generasi muda. Namun, di balik piring yang bersih dan hidangan yang menggugah selera, tersembunyi sebuah cerita yang jarang terekspos: penderitaan para pekerja kantin yang setiap hari berjuang di dapur.

Saat ini, Korea Selatan sedang dilanda gelombang aksi mogok kerja para pekerja kantin sekolah. Mereka menuntut perbaikan kondisi kerja yang dianggap tidak manusiawi. Laporan dari media lokal mengungkap, para pekerja, yang mayoritas adalah perempuan berusia 40-50 tahun, bekerja dengan beban yang dua hingga tiga kali lebih berat dibandingkan dapur perusahaan biasa. Akibatnya, banyak dari mereka menderita kelainan otot, radang sendi, bahkan cacat tangan permanen akibat gerakan berulang. Beban ini menjadi gambaran nyata dari harga yang harus dibayar demi menyajikan hidangan yang sempurna.

HALAL BERKAH

Ancaman Tak Kasat Mata: Kanker Paru di Dapur Sekolah

Di antara wajan yang berasap dan suara denting peralatan masak, ada musuh tak kasat mata yang mengancam kesehatan para pekerja: asap minyak goreng. Paparan jangka panjang terhadap asap ini telah merusak paru-paru mereka. Ribuan pekerja dilaporkan mengalami masalah pernapasan, dan yang lebih mengerikan, banyak yang didiagnosis menderita kanker paru. Dari 42.077 pekerja yang diperiksa, sepertiganya mengalami masalah paru-paru. Sejauh ini, sedikitnya 170 kasus kanker paru telah diakui sebagai penyakit akibat kerja, namun kelompok advokasi meyakini jumlah sebenarnya jauh lebih besar karena ketatnya syarat klaim.

Baca Juga:  Inovboyo 2025: Surabaya Tunjukkan Diri sebagai Pusat Inovasi Kreatif, Budaya, dan Kepemudaan Digital

Seorang aktivis buruh, Park Mi-Hyang, dengan tegas menyatakan, “Makan siang gratis kelas dunia yang dinikmati warga Korea Selatan hari ini… dibayar dengan tangan pekerja kantin yang cacat, kulit yang penuh bekas luka bakar, dan sel kanker yang tumbuh di paru-paru mereka.” Pernyataan ini bukan isapan jempol, dalam tiga tahun terakhir saja, setidaknya 14 pekerja meninggal karena kanker paru. Pengakuan pilu dari seorang pekerja yang didiagnosis kanker paru akibat kerja semakin menguatkan fakta ini: “Selama bertahun-tahun saya menanggung beban kerja yang menghancurkan tulang dan asap beracun… Sementara itu, tubuh saya perlahan hancur.”

Dilema dan Aksi Mogok yang Menyebar

Kondisi kerja yang tak kunjung membaik mendorong para pekerja untuk mengambil langkah drastis: mogok kerja. Aksi ini telah menyebar ke ribuan sekolah di seluruh Korea Selatan. Data dari Kementerian Pendidikan menunjukkan bahwa jumlah sekolah yang terdampak mogok meningkat dari 3.192 pada tahun 2022 menjadi 4.004 pada tahun 2024. Ini berarti tiga dari sepuluh sekolah tidak dapat melayani makan siang normal, menciptakan dilema besar di kalangan orang tua.

Baca Juga:  Jember Fashion Carnaval 2025: Perayaan Seni, Inovasi, dan Budaya Indonesia

Meskipun banyak orang tua mendukung tuntutan para pekerja, mereka juga resah karena anak-anak mereka kesulitan mendapatkan makan di sekolah. Namun, Federasi Serikat Pekerja Non-Reguler Sekolah Korea menegaskan bahwa mogok adalah satu-satunya pilihan setelah tuntutan mereka, terutama mengenai perbaikan ventilasi, diabaikan. Faktanya, lebih dari 97 persen dapur sekolah masih belum memiliki ventilasi yang memadai.

Kisah para pekerja kantin ini menempatkan program makan siang gratis Korea pada posisi yang rumit. Di satu sisi, program ini menjadi kebanggaan yang diakui dunia, tetapi di sisi lain, kebanggaan itu dibangun di atas penderitaan, kesehatan, bahkan nyawa para pekerjanya. Saat para siswa menikmati makan siangnya, mungkin sudah saatnya bagi masyarakat untuk merenungkan harga yang sesungguhnya dari setiap hidangan lezat yang tersaji di piring mereka. (*)

TEMANISHA.COM