TOPMEDIA – Di tengah ketidakpastian ekonomi global, sebuah fenomena baru muncul di dunia kerja yang perlahan menggeser tren “job hopping”. Kini, semakin banyak pekerja muda, khususnya generasi milenial dan Z, memilih untuk memeluk erat pekerjaan mereka saat ini. Fenomena ini, yang disebut job hugging, bukan lagi tentang loyalitas pada perusahaan, melainkan tentang mencari rasa aman di tengah badai ketidakpastian.
Dulu, pindah pekerjaan dianggap sebagai cara tercepat untuk mendapatkan kenaikan gaji atau pengalaman baru. Namun, kini situasinya berbalik. Menurut konsultan dari Korn Ferry, banyak karyawan yang kini memilih bertahan karena khawatir akan kesulitan mendapatkan pekerjaan baru. “Mereka berpegang erat pada pekerjaan seperti investor yang memilih menunggu di pinggir lapangan,” ujar Matt Bohn, seorang konsultan eksekutif Korn Ferry, dikutip dari CNBC International.
Mengapa Mereka Takut Melepaskan?
Fenomena job hugging didukung oleh data-data yang kuat. Di Amerika Serikat, tingkat pengunduran diri sukarela sejak awal 2025 turun drastis hingga 2%, level terendah dalam hampir satu dekade. Ini menandakan bahwa karyawan makin enggan melepaskan pekerjaan yang sudah mereka genggam.
Selain itu, survei ZipRecruiter mencatat, pekerja yang tidak yakin akan ketersediaan lowongan kerja meningkat menjadi 38% pada kuartal kedua 2025, naik dari 26% tiga tahun lalu. “Pasar tenaga kerja saat ini stagnan, baik dari sisi perekrutan, PHK, maupun pengunduran diri,” kata Laura Ullrich, Direktur Riset Ekonomi di Indeed Hiring Lab.
Ketidakstabilan ekonomi juga memperburuk situasi. Dengan suku bunga tinggi, perusahaan cenderung enggan berekspansi dan menahan perekrutan. Data terbaru menunjukkan rasio lowongan kerja terhadap pengangguran di AS telah turun dari 2:1 pada Maret 2022 menjadi sekitar 1:1 pada Juni 2025. Artinya, persaingan untuk mendapatkan pekerjaan baru semakin ketat.
Dampak Negatif di Balik “Rasa Aman”
Meskipun terlihat aman, job hugging adalah pedang bermata dua yang merugikan baik karyawan maupun perusahaan. Yang pertama yakni, karier stagnan dan gaji tertinggal. Pekerja yang terlalu lama bertahan berpotensi kehilangan peluang kenaikan gaji yang signifikan. Sejarah menunjukkan bahwa pekerja yang berani pindah biasanya mendapatkan kenaikan upah lebih besar daripada yang tetap di posisi yang sama. Yang kedua adalah stagnasi diri, terlalu nyaman dalam pekerjaan yang tidak menantang bisa membuat pekerja menjadi tidak kompetitif. Keterampilan tidak berkembang, dan ketika pasar kerja kembali bergairah, mereka mungkin sudah tertinggal. Dan berikutnya adalah risiko PHK. Matt Bohn mengingatkan, jika kinerja pekerja dinilai tidak lagi memenuhi standar, perusahaan bisa saja memutuskan hubungan kerja. Rasa aman yang dicari ternyata tidak sepenuhnya terjamin.
Bagaimana Solusi Melepaskan Job Hugging?
Bagaimana cara keluar dari jebakan ini? Baik karyawan maupun perusahaan memiliki peran penting. Untuk karyawan, ada beberapa hal yang bisa dilakukan, di antaranya;
-Menyusun rencana karir, kenali apa yang membuatmu tidak puas dan buat peta jalan karier yang jelas untuk masa depan.
-Mengasah keterampilan baru, manfaatkan waktu luang untuk belajar hal baru, baik melalui pelatihan internal maupun sertifikasi eksternal, untuk meningkatkan nilai jualmu.
-Mencari peluang internal, jangan buru-buru keluar. Diskusikan dengan atasanmu tentang proyek baru atau posisi lain di dalam perusahaan yang mungkin lebih menarik.
Sementara untuk perusahaan, yang harus diperhatikan adalah bagaimana membangun komunikasi terbuka, dengan menciptakan ruang dialog yang aman bagi karyawan untuk berbagi kekhawatiran dan masukan-masukan. Kemudian tawarkan jalur karir yang jelas. Misalnya dengan membuat program pengembangan karyawan yang transparan. Tunjukkan bahwa ada masa depan di perusahaan, sehingga mereka memiliki alasan kuat untuk bertahan dan berkembang.
Pada akhirnya, job hugging adalah pengingat bahwa rasa aman sejati tidak datang dari bertahan di tempat yang sama, melainkan dari keberanian untuk terus belajar, beradaptasi, dan berinovasi. (*)