BEBERAPA bulan setelah Mama semakin larut dengan dunia arisan barang branded, masalah mulai muncul.
Salah satu ketua arisan tiba-tiba kabur membawa uang setoran. Puluhan ibu-ibu panik, termasuk Mama.
Malam itu, aku mendengar percakapan di ruang tamu.
Mama mondar-mandir, wajahnya pucat. Sementara Papa duduk dengan kepala diapit tangan.
“Bagaimana ini, Pa? Kalau Mama tidak setor bulan depan, nama kita tercoreng! Semua akan bilang keluarga Brajantara tidak mampu bayar!”
Papa menghela napas panjang. “Berapa besar setoranmu kali ini?”
“Seratus juta,” jawab Mama dengan suara gemetar. “Tapi itu belum termasuk arisan perhiasan yang jatuh tempo minggu depan.”
Bram yang mendengar langsung menyambar. “Seratus juta? Dari mana Mama mau bayar? Jangan bilang Mama mau ambil lagi dari kas perusahaan!”
Mama menatap Bram dengan mata berkaca-kaca. “Hanya pinjam sementara, Nak. Nanti kalau giliran Mama dapat barang, kita bisa jual lagi.”
Bruno tidak tahan, ia berdiri sambil membanting kursi. “Ini gila! Perusahaan bisa macet kalau arus kas dipakai untuk arisan! Kita punya ratusan karyawan yang harus digaji!”
Aku mencoba menenangkan, meski hatiku ikut hancur. “Ma, arisan ini bukan solusi, ini lingkaran setan. Kalau macet, Mama yang harus menanggung. Dan sekarang, semua orang akan menagih pada kita.”
Hari-hari berikutnya penuh tekanan. Telepon rumah berdering tanpa henti, ibu-ibu arisan menagih setoran.
Beberapa bahkan datang langsung ke kantor, menuntut agar Mama membayar demi menjaga nama baik.
Karyawan mulai bergunjing dan gosip pun menyebar. “Ibu Direktur kecanduan arisan branded, uang perusahaan dipakai buat tas dan perhiasan.”
Papa semakin muram. Bisnis mulai goyah karena pembayaran vendor tertunda. Beberapa proyek bahkan berhenti karena dana yang seharusnya dipakai sudah teralihkan.
Aku menatap papan nama besar Brajantara Group di depan kantor dengan perasaan pahit.
Arisan yang awalnya hanya soal gengsi kini berubah menjadi racun yang meruntuhkan bisnis keluarga sedikit demi sedikit.
(Bersambung ke Series 3: hutang arisan menumpuk, perusahaan mulai terjerat utang, dan reputasi keluarga hancur di mata publik)